Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2015

POLITIK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (Bagian 2)

Oleh Daniel Ama Nuen Untuk sebuah perubahan sosial politik yang radikal di desa haruslah dirancang dengan sangat hati-hati, dan itu memakan waktu. Segelintir orang harus masuk ke tengah-tengah warga desa untuk bersama-sama dengan mereka mengkritisi kenyataan-kenyataan sosial politik (yang tidak manusiawi tentunya) yang dihadapi bersama dan bersama-sama mencari cara untuk mensiasatinya. Disana sudah tidak lagi ada yang berposisi guru saja, atau murid saja, tapi guru sekaligus juga murid dan murid yang sekaligus guru. Dan bahan yg dipelajari adalah realitas sosial politik. Hanya dengan jalan ini kita akan membuat perubahan yang berarti di desa. Kesadaran kritis warga desa yang selama ini ditindas pelan-pelan ditumbuhkan. Dan suatu saat mata mereka akan terbuka dengan sendirinya bahwa penyalagunaan kekuasaan adalah kejahatan dan itu harus dicegah atau dilawan. Di sini apatisme secara perlahan dirubah menjadi antusiasme. Dan warga desa yang antusias tentu mempunyai mobilitas yang ti

POLITIK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (Bagian 1)

Oleh Daniel Ama Nuen Penguasa baik nasional maupun lokal selalu menjaga kekuasaannya agar bertahan lama dengan cara membodohi seluruh warga masyarakat. Di saman Orde Baru, pusat-pusat pendidikan seperti SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi tak luput dari upaya-upaya pembodohan. Penjejalan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat ideologis pada semua tingkat pendidikan itu adalah pertanda jelas dari upaya-upaya seperti itu. Anak-anak didik dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi diupayakan menghafal semua sila dari Pancasila, tetapi apa artinya semua sila itu dan bagaimana praksisnya tidak menjadi perhatian untuk dikritisi. Mereka juga cuma disodorkan sejarah resmi dari ordo yg sementara berkuasa, sementara versi lain dari sejarah tentang suatu peristiwa di masa lampau semisal peristiwa pergantian kekuasaan tak diberikan untuk dipelajari apa lagi untuk dikritisi. Jadinya, sejarah yang selama ini dipelajari atau diketahui umum tidak lebih dari sebuah cerita yang subjektif dan h

NYANYIAN NUSA TADON

(Kita tidak besar-besar juga , walau seribu khilaf disadari, walau seribu dosa disesali. Sejarah kita tetap juga merah. Terlalu merah. Terlalu berdarah-darah. Sayang. Terlampau sayang) Ladang-ladang jagung bermekaran Pohon-pohon kelapa terhampar melambai Gunung bukit bersembulan dari tanah-tanah datar Padang-padang membentang lelap Matahari mencurahkan cahya berkilau Angin selatan berehembus...terus berhembus Ile Boleng* tegak bisu Berabad-abad lewat di pangkuannya Anak manusia bunuh-membunuh Damai-berdamai Menari-menangis, tertawa-bersedih : "Oh, bodoh kala aku, geri kantor maso bui Geri kantor maso bui"** Kebodohan berpadu sesal Kesedihan berpadu kegembiraan Kebiadaban berpadu keadaban Kekumuhan berpadu keluhuran Perang berpadu damai Kematian berpadu hidup Nyanyian Nusa Tadon adalah Nyanyian berwarna merah Tentang darah Nyanyian Nusa Tadon adalah juga Nyanyian berwarna putih Tentang harapan Dinyanyikan dari ladang-ladang jagung Y

MARI BERSUMPAH

Hidupmu mesti api abadi Membakar kedunguan Dan tangan terkepal Yang menyulut Revolusi cinta manusia Bukankah di dua delapan Telah ada pemberontakan itu Dan bangsa ini tumbuh ? Kita adalah angkatan itu Gelorah itu Roh itu Mari bersumpah Jangan beri hormat Pada koruptor Pencuri Penindas Pembunuh Kegelapan Jangan ! da Ama Nu'en Bani Tulit Mutiara Dari Woka Belolon

CATATAN UNTUK SEBUAH IMPIAN KEMERDEKAAN

Mengapa kemudian Aku sering bermimpi,   mengidamkan tentang sebuah kemerdekaan sejati. Memimpikan kebebasan... Kebebasan yang jauh dari rasa cemas, Cemas akan dentuman meriam dan anak panah. Yang kapan saja bisa menembus dinding rumahku. Kelegaan akan sebuah kegelisahan hebat, Yang terus menggoncang nurani. Tentang ayah yang menghunus pedang Di hadapanku, lalu keluar rumah, Dengan mata menyala-nyala bak mata singa Yang siap menerkam mangsa. Ayaahhh...panggilku tak terdengar... Aku seperti seorang pemimpi kecil Yang berdiri diatas gunung... Dan menatap jauh ke arah Kobaran api dan asap merah Yang terbang membakar langit... Menutupi wajahku kala menyaksikan Para korban berlarian bermandikan darah, Dengan luka menganga ditubuh mereka, Dan pula yang terbaring tak bernyawa dengan puluhan anak panah menembusi tubuh mereka. Aku berteriak sekerasnya, Sampai pita suaraku pecah. Sampai Pembuluh nadiku membengkak... Namun jeritan bayi dan tangis ibu-ibu Yang meratap

DI BAWAH UTOPIA

(Kepada sahabatku YLL yang pergi bersama kabut : Kita harus bisa bawakan matahari dan harapan kepada setiap malam dan keputusasaan) Sahabat, Kita berdiri di semesta ini   Dengan iman Pindahkan segala gunung Hancurkan segala karang Lindas segala tirani Lumat segala setan ....juga dengan iman Ubah ayunan parang Jadi kecupan kasih Dan.... Inilah mujizat penghabisan yang belum kita kerjakan : Ubah batu jadi roti agar tak lagi ada lapar Ubah ilalang jadi kain   agar tak lagi ada telanjang Ubah tanah jadi rumah agar tak lagi ada gelandang Ubah keadilan jadi hukum agar tak lagi ada tangis dan air mata Tapi sahabat,   Khianat selalu tiba lebih awal dan memaksa setiap kita untuk selalu menyerah di bawah Utopia. Memang. Tapi bukankah gelora kita tetap abadi melintasi jaman ? Sahabat, kasih tangan ! (da Ama Nu'en Bani Tulit. Mutiara Dari Woka Belolon)

CATATAN IBU SEORANG DEMONSTRAN

Angin dan waktu bersetubuh, menerpa menuakan penjaga malam. Di batas kekelaman hari-hari berteriak mencari pagi. Bendera-bendera setengah tiang perlawanan berkibar dari rumah-rumah penduduk dan api amarah ketidakadilan membakar langit. Orang-orang telah bangkit dari 32 tahun malam penindasan dengan 32 tahun energi amarah yang terpendam mendentangkan lonceng kematian untuk penjaga malam. Anak-anak muda bergelombang, bergerak. Perlawanan dikibarkan di puncak-puncak harapan luhur dan tekad menggumpal : "padamu negri jiwa raga kami". Di sini, revolusi sementara menggeliat, di jalan-jalan ! Sebab rumah besar di Senayan itu sudah lama jadi tempat pelacuran. Tetapi kepada mereka tentara-tentara disiagakan dan bedil-bedil ditembakan. Lalu yang terjadi kemudian: tubuh-tubuh rubuh, menggelepar, mati! Darah membasahi jalan sejarah, menggenangi ceruk-ceruk kesadaran kita : betapa di sini manusia telah kehilangan harga dan kebiadaban telah jadi peradaban orde-orde yang berkuasa. Son