PULANG KAMPUNG
Oleh: Sugali Adonara
Seperti
dugaan Maria sebelumnya, tak ada matahari setelah hujan. Sore menyergap dengan
cepat dan langit begitu bersih dengan saputan awan pastel sedikit kemerahan,
halus serupa sapuan kuas seniman. Tanah basah berwarna-warni, cokelat, merah
dan hitam. Rumput-rumput lebih hijau, sedangkan yang merangas karena kemarau
lampau menumbuhkan harapan pada tunas-tunas kecil baru.
Langit
segera kelabu. Pelan-pelan menghitam. Lalu bintang keluar satu-satu. Seperti
kata orang tua-tua, hujan di siang hari akan melahirkan cahaya di malam hari.
Maria melihat kerlap-kerlip yang asyik masyuk dalam khusyuk. Dan kemudian akan
ada bunyi bertalu-talu dari rumah-rumah berdinding bambu. Samar-samar dari
celah bambu, cahaya lentera menegaskan malam yang dingin. Memberi kehangatan.
Menemani ina-ina mengolah jagung titi. Jagung titi ini nama dari
makanan khas orang-orang kampung Maria. Lebih nikmat dari beras. Bila
disuguhkan dengan segelas kopi atau teh bersama sayur-sayur olahan seperti rumpu-rampe
khas kampung, aromanya akan meminta lambung segera diisi. Kadang juga ina-ina
menyuguhkan mudu, salad kampung yang asam dengan sedikit rasa manis
bercampur pedasnya cabe merah. Jagung titi adalah sebuah pengganti bila beras
terlalu mahal.
Pria-pria
akan memilih duduk di beranda panjang, di atas bale-bale bambu sambil
berselimut dengan sarung tebal. Mereka duduk berkelompok dan saling bercerita
tentang apa saja, entah itu soal kebun atau isu kampung sebelah yang berseteru
dengan kampung di sebelahnya lagi. Mereka melepas lelah setelah seharian di
kebun dengan kopi dan rokok koli yang segera akan membuat batuk kalau
tidak terbiasa dengan aroma dan rasanya.
Beberapa
anak kecil keluar bermain. Mereka menikmati cerahnya langit setelah hujan
seharian. Berkejar-kejaran di tanah lapang tengah kampung hingga ke beranda
balai kampung. Setelah itu, mereka akan bubar dengan sendirinya. Berlari ke
rumah masing-masing atau saling mengajak untuk bersinggah rumah. Makan jagung
titi. Berbagi tawa terakhir sebelum ina dan ama menyuruh segera
tidur.
Kemudian
kampung akan sepi. Pada saat itulah Maria menyukai suara jangkrik atau lolongan
anjing di kejauhan. Karena itu pula, Maria suka pulang kampung untuk sekedar
menikmati keramaian yang otentik.
***
Anak-anak
kampung, mereka bermain karena itulah dunia mereka. Mereka tertawa karena
begitulah mereka menyikapi. Tidak ada gadget atau televisi yang mengikat
kaki atau mengurung liarnya mata. Mereka harus melihat hal-hal luar biasa di
luar sana, di celah-celah pohon kopi atau pelepah-pelepah kelapa yang
berguguran. Mereka mau berbasah dan berkotor kaki melintasi kali atau petak
kebun sayur.
Sementara
itu pria yang dewasa-dewasa memikul cangkul dan parang ke kebun. Membersihkan
dan memberi batas secara tradisioanl pada lokasi-lokasi yang akan ditanam. Dan
pada satu kesempatan, mereka akan bersuara seperti pemburu, melengking sambil
mengetuk leto hingga menggema pada pucuk-pucuk pinang. Maka
bersahut-sahutlah suara, mungkin satu dua orang, tapi kadang mereka yang
kebunya berdekatan akan membuat suasana sangat ramai. Mereka hanya saling
menyapa, meski antara pondok dengan pondok berjarak ratusan meter.
Maria
sering bertanya-tanya mengapa kampung begitu sepi namun menyimpan keramaian
yang otentik. Perempuan-perempuan dewasa bahkan yang lebih muda akan bangun
pagi-pagi sekali dan menyiapkan makanan, memanasakan yang tersisa semalam tadi,
membuat teh dan kopi dan memeriahkan bale-bale di ruang tengah rumah dengan
aneka makanan. Lalu pria-pria akan bangun sebelum kabut tersibak cahaya
tersisa. Sebelum mendung musim penghujan menggantung tebal. Juga sebelum ayam
mematuk embun sisa-sisa.
Ina
Prada, nenek Maria, melakukan hal yang sama. Tak peduli meski suaminya, ama
Kopong, sudah lama tiada. Bangun pagi sekali dan membopong tubuh bungkuknya
oleh karena usia, mulai beraktivitas seperti perempuan-perempuan kampung lain.
Dia berlaku seolah suaminya itu masih ada. Tapi kata ama Yohanes, ayah Maria,
seorang ina tidak akan berhenti, karena pengabdian sesungguhnya adalah
pada kehidupan. Tungku yang hidup adalah simbol kekalnya nama seorang suami.
Maria
suka melihat laku neneknya. Sejak sepuluh tahun lalu, saat Maria masih puber,
kakenya mati karena sakit kanker. Ayahnya sudah berupaya keras agar ama Kopong
bisa lebih lama melihat Maria – paling tidak – hingga sedewasa ini. Tapi kata
ayah Maria, tak ada koda yang bisa dilawan. Dan begitu saja kakeknya
pergi.
Sudah
sejak dulu, perempuan adalah tongkat kukuh bagi ketimpangan pria. Oleh lewo
tanah perempuan punya tempat sendiri yang agung. Suatu kali Maria
diberitahukan ayahnya tentang hal itu:
“Perempuan
kampung kita adalah pejuang sejati. Mereka bekerja dua kali lebih berat dari
kaum pria. Zaman dulu, ketika masih terjadi begitu banyak perang antar kampung
dan suku, perempuan adalah pertahanan terakhir kedaulatan sebuah kampung. Ada
aturan yang tak boleh dilanggar: perempuan tidak boleh dibunuh. Dan mereka,
perempuan dan anak-anak kecil ini menyelamatkan garis darah kaumnya.”
Maria
makin paham mengapa begitu banyak janda di kampungnya yang bertahan dengan
kondisi paling menyedihkan sekalipun. Tidak seperti kakeknya yang tetap
menjadikan neneknya sebagai satu-satunya istri, banyak janda lahir dari rahim
ketimpangan. Ketimpangan situasi sosial dan keadaan ekonomi yang tidak lagi
kontekstual seiring pergeseran zaman. Mereka menjadi janda karena suaminya
merantau atau karena ditinggal pergi kepada istri yang lebih muda.
“Kampung
tidak lagi seperti dulu Maria. Suasananya mungkin masih sama. Tapi tidak dengan
sendi-sendi yang menopang nafas kampungnya. Tidak seperti zaman dimana sekarung
beras atau sebotol minyak goreng bisa diganti dengan beberapa buah kelapa.
Setelah
dunia menjadi sangat modern, kampung berubah menjadi sebuah gambar besar
tentang utopia sosial. Kau sudah besar Maria, dan harus tau bagaimana kampungmu
ini berdiri di atas wadas yang kukuh namun berbadan renta. Bukan karena usia,
tapi karena modernisme yang diterjemahkan semena-mena oleh yang punya
kepentingan. Setiap kali kau pulang kampung kau akan bertemu dengan perubahan.”
“Bagus
bukan, ayah. Perubahan menjadi tonggak kemajuan. Kemajuan yang positif
tentunya. Saya melihat dengan jelas kampung kita berubah dan memberi beberapa
dampak positif. Misalnya, jalan yang bagus sekarang ini menjadi media penopang
distribusi produk pertanian. Lebih lancar dan lebih cepat.”
“Seharusnya.
Semestinya perubahan itu adalah hal yang bagus. Tapi perubahan yang semena-mena
itu tidak bagus. Coba kau lihat kampung Betawi di Jakarta. Mereka terasing di
tanah mereka sendiri. Begitu juga yang sekarang sedang terjadi di kampung kita.
Jalan-jalan bagus dibangun dan kendaraan bisa masuk dengan suka hatinya ke
kampung ini. Petani tidak perlu lagi menyewa kuda atau gerobak besar untuk ke
pasar. Itu bagus, bagus sekali. Namun bagaimana bisa itu meyakinkan kalau
ternyata orang kampung harus bekerja sepuluh kali lipat lebih berat agar bisa
sejahtera? Semua yang kota minta dan butuhkan datang dari kampung. Tapi kampung
tidak merasakan makna dari gencarnya pembangunan ini. Jalur transportasi
dibangun hanya untuk menopang akumulasi arus modal dari kota yang sudah sumpek
ke kampung yang masih memberikan ruang-ruang pengisapan.”
Maria
memaklumi ayahnya. Betapa kolotnya sang ayah, menurutnya. Maria melihat bahwa
orang-orang kampung menerima banyak hal yang baik. Jalan-jalan baru yang dibuka
menjadi akses bagi petani di kampungnya itu pergi dan menjual hasil taninya
dengan lebih mudah. Praktek pengisapan petani, menurut Maria, harusnya
diperangi oleh pemerintah dengan produk-produk aturannya. Tidak seharusnya
perubahan disalahkan. Kemajuan itu mutlak – menurut Maria – dibutuhkan untuk
merubah peradaban ke arah yang lebih baik. Tapi ada suatu hal yang mengganjal
pikirannya. Dia bertanya kepada ayahnya:
“Ayah,
mengapa orang kampung tidak berubah? Maksud saya, tidak seperti masyarakat yang
hidup dalam zaman modern biasanya.”
Ama
Yohanes membetulkan duduknya. Lalu dia memandang mata kecil putri sulungnya itu
dalam-dalam.
“Sebuah
kampung tetaplah sebuah kampung, Maria. Kota tumbuh dari kampung, hanya karena
alasan-alasan ilmiah tertentu kampung bisa tumbuh menjadi kota. Karena
kebutuhan. Kebutuhan yang masuk akal tentunya. Tapi pada dasarnya, realitas
membuktikan pergeseran kampung menuju kota mendegradasi banyak kearifan dan
terbangunlah sebuah produk artifisial. Ruang-ruang kehidupan yang gamang.
Perubahan yang cepat namun kosong.”
“Pemerintah
memberikan infrastruktur yang baik agar supaya kampung terbuka dan menemukan
hal-hal baru. Bertumbuh dan berkembang. Asas evolusi, ayah.”
“Evolusi
yang adiluhung itu kalau dia berguna sebaik-baiknya untuk semua. Sekarang ayah
kasih sebuah contoh: pendidikan modern masuk dan memberi banyak sumbangsih.
Apakah sia-sia sumbangan itu? Tidak juga. Hanya saja banyak yang tidak tepat
guna. Sekarang banyak petani menjual tanah, karena pendidikan mahal. Padahal di
kampung kan sudah ada sekolah. Pendidikan modern sudah masuk kampung, Maria.
Tapi, mereka yang petani ini sudah tau kalau pendidikan itu harus
sebagus-bagusnya dengan embel-embel akreditasi. Ini kebutuhan dunia kerja,
setelah kerja di kampung tidak bisa menopang arus perubahan yang mempengaruhi
tuntutan hidup. Dan embel-embel pendidikan ini butuh uang banyak. Ya sudah,
petani harus jual tanah karena meski hasil bumi sudah bisa lebih muda dijual ke
pasar, harganya masih milik kulak.”
“Jadi
soal perubahan kampung, menurut ayah harusnya bagaimana? Kampung dengan segala
nilai yang dimilikinya jelas-jelas harus bertumbuh. Kampung harus berjalan
maju, tidak harus terikat dalam batasan-batasan primodial yang kaku bukan,
ayah?”
Ama
Yohanes memahami jalan pikiran Maria. Perubahan memang berharga mahal. Seperti
usia yang tidak menunggu keputusan manusia untuk berlalu. Tapi, ada hal-hal
yang bisa dipertahankan, tidak boleh berubah. Dan kampung harusnya juga begitu.
Tidak boleh berubah bukan berarti jatuh dalam ketertinggalan, karena konteks
ketertinggalan hanya soal mampu melihat zaman atau tidak.
“Kau
masih ingat pertama kali ayah membawamu pulang kampung, Maria?”
“I-ya.”
Maria sedikit tidak yakin.
“Kau
menangis seharian karena tidak ada pendingin ruangan di rumah kakek kala itu.
Kau terbiasa dengan udara rumah yang sejuk oleh karena pendingin ruangan. Tapi
itu kau tidak dapatkan saat di kampung. Dan apakah sekarang kau menangis atau
mengeluh seperti dulu? Tidak! Ya, tidak sama sekali. Ayah malah senang kau mau
menemani nenek sesekali ke kebun. Kau seperti menemukan dunia baru, padahal
masih di tempat yang sama, dimana kau menangis hanya karena pendingin ruangan.
Artinya apa? Kau sudah berdamai dengan suasana demikian itu.”
“Saya
sudah dewasa ayah. Bukan anak-anak lagi.”
“Di
situlah jawaban pertanyaanmu tadi. Itu yang ayah maksudkan dengan perubahan.
Perubahan yang harusnya beradaptasi dengan kampung, bukan sebaliknya.”
“Jadi
maksud ayah, jalan-jalan yang dibangun itu atau akses infrastruktur yang lebih
baik sekarang ini sia-sia bagi kampung?”
“Tidak
juga. Tapi semua ini tidak lebih dari akumulasi perubahan di kota. Kota
membutuhkan lebih banyak. Dan mereka butuh akses yang lebih luas terhadap
sumber pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Akses yang tidak adil tentunya.
Memberikan ruang kepada orang kampung, tapi bukan orang kampung yang mengolah
ruang tersebut.”
Maria
mengangguk paham.
Demikian
setahun lalu Maria berbicara dengan ayahnya, Ama Yohanes, tentang kampung yang
sekarang berbentuk kotak-kotak kecil dalam paradigma pembangunan. Ada kotak
yang menggambarkan betapa kampung benar-benar diperhatikan, namun kotak yang
lain menunjukan betapa kampung hanya area tambang bagi kota. Sementara di kotak
yang lebih besar berisi mantra-mantra sulap yang menghibur namun utopis, yang
hilang sia-sia dalam kedangkalan berpikir kaum pemerhati.
Meskipun
begitu Maria masih tidak setuju dengan ayahnya tentang pembangunan
infrastruktur di kampung. Bagi Maria, pembangunan infrastruktur jelas wajib
dibutuhkan dalam mengakses perubahan. Bagaimanapun pergerakan zaman tetaplah
sebuah mesin besar yang membutuhkan penggerak yang besar pula. Negara-negara
yang maju pesat adalah karena pembangunan dimulai dari kampung dan perputaran
modal terjadi di kota. Kota menjadi sentra dari semua pembangunan terakumulasi
dan bergeliat melahirkan kemungkinan-kemungkinan. Maria melihat bahwa
terseok-seoknya kampung tidak hanya salah pada regresi pembangunan. Banyak
masyarakat kampung tak mau berubah. Mereka diam di tempat. Seolah nyaman dengan
kondisi yang begitu adanya. Setidaknya begitu menurut Maria.
Bagi
Maria, perubahan zaman adalah kompensasi perjalanan waktu. Bagaimana mungkin
menyalahkan waktu yang terus berputar? Maria teringat dialognya dengan Abdul,
teman kuliahnya. Menurut Abdul, waktu bergerak sangat cepat namun perubahan
bergerak sangat lambat. Kadang perubahan itu hanya fatamorgana di dalam rentang
pergeseran waktu. Orang di Eropa mungkin sudah mengendarai kereta cepat tenaga
surya, tapi dengan moda transportasi yang sama di India misalnya baru
memikirkan bagaimana menggunakan kereta konvensional bertenaga listrik. Padahal
masyarakat Eropa dan India hidup dalam jenjang waktu yang sama, zaman yang sama
saat ini. Ironi pergeseran waktu adalah melahirkan tragedi perubahan, demikian
Abdul. Pada akhirnya waktu dan perubahan hanyalah utopia kalau tidak mau
dibilang ilusi pemikiran.
Maria
hampir tidak memahami pemikiran Abdul yang sangat tergila-gila dengan Fisika
kuantum itu. Maria mungkin memahami bahwa pergeseran waktu dan perubahan adalah
dua hal yang realtif hubungannya. Perubahan bisa saja nisbi kalau tidak mau
dibilang tidak ada sama sekali, sementara waktu bergerak maju searah. Tapi
bukankah perubahan bisa saja hanya menjadi cemilan pemangku kepentingan? Stalin
berkoar-koar tentang perubahan konsep komunisme yang lebih modern tapi
mengadopsi cara-cara totaliter ala fasis. Timor Lorosae pernah menjadi ladang
pembantaian oleh militer Indonesia dengan alasan mencegah gerakan sparatisme,
merubah wajah Timor Lorosae menjadi lebih beradab. Masih banyak lagi kemasan
perubahan yang tidak relevan dan cenderung politis. Destruktif dan mencederai
posisi manusia sebagai yang empunya waktu dan perubahan.
Pada
akhirnya Maria menemukan ujung semua itu - tentang kampung yang bergeliat,
tentang waktu yang bergeser dan lahirnya perubahan – dalam konsep besar
akumulasi modal. Kampung harus menanggung – seperti halnya tutur sang ayah –
beban akumulasi modal itu sebagai konsekuensi media perubahan itu sendiri.
Perubahan yang dirancang dan didesain oleh kelompok kepentingan tertentu demi
langgengnya suatu sistem, bahkan serusak apapun sistem itu. Kampung dengan
segala keterbatasannya harus berjuang mengikuti arus perubahan yang kadangkala
melawan gerak waktu, kadangkala juga mempermainkan gerak waktu itu sendiri.
Lalu apakah dengan begitu kampung harusnya melawan perubahan? Tidak. Kampung
harus belajar mengalami perubahan itu. Tapi bukankah itu memposisikan kampung
sebagai yang didikte perubahan bukan sebaliknya perubahan yang harusnya
melibatkan diri dalam realitas kampung? Bagi Maria semua kemungkinan jawaban
akan melahirkan kisah-kisah paradoksial yang sama. Bagaimanapun kepentingan
adalah bentuk praksis dari ketamakan manusia yang setua umur bumi.
****
Hari
ini akan hujan lagi. Awan sudah tebal sekali, hitam seperti kanopi raksasa di
langit. Angin tidak berhembus dan hawa terasa lebih sejuk. Maria duduk di
beranda rumah kakeknya, bersila di atas bale-bale dengan kwatek yang
membungkus separuh tubuhnya. Di depannya sang nenek sedang mengupas pinang
untuk dimakan dagingnya. Hari ini, Ina Prada tidak ke kebun untuk memberi makan
babi-babinya. Hanya saja ama Niko, paman Maria, pergi ke kebun untuk
mempersiapkan lahan tanam jagung. Kata ina Prada, panen jagung tahun kemarin
sangat buruk. Semoga saja tahun ini lebih baik. Dengan begitu dia bisa
menampung jagungnya di lumbung untuk persiapan musim kemarau dan diolah menjadi
jagung titi. Beras sangat mahal di kampung, sementara kebutuhan hidup lain tak
kalah mahal juga.
Sejurus
kemudian hujan turun sangat deras. Maria teringat kota M, tempat tongkrongannya
dan teman-temannya yang mungkin sekarang sedang menikmati segelas kopi di sudut
sebuah kafe sambil menunggu hujan redah. Pada saat itu Ina Prada bertanya:
“Ina,
kapan wisuda?”
“Setahun
lagi, nek.”
“Nanti
ina kerja di M dengan ayah dan ibu di sana?”
Maria
tersenyum sejenak. Sekelompok anak-anak berlari riang di bawah guyuran hujan.
Maria menatap keajaiban itu dengan sungguh. Kampung yang sepi namun riuh dengan
keramaian otentik ini seperti membiusnya.
“Kalau
Maria pulang kampung saja bagaimana, nek?”
Ina
Prada tertawa memamerkan gigi hitamnya yang kontras dengan ampas daging buah
pinang dan buah siri.
“Mau
kerja apa di sini, ina?”
Malang,
Desember 2015
Komentar