Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2015

TRAGEDI MENARA PEMBANGUNAN (Bagian 2)

Ilustrasi Tragedi Menara Pembangunan di atas seharusnya membawa arus balik pemikiran. Ketika sebuah keputusan diambil semisal memasukan inovasi pertanian untuk petani pedesaan, orang atas mesti bertanya : apakah kenaikan produksi dengan teknologi modern dibutuhkan petani? Jangan-jangan itu bukan kebutuhan petani, tapi kebutuhan suatu dunia industri sarana dan prasarana pertanian dengan jarring-jaringnya yang mengambil keuntungan. Kadang-kadang kebutuhan itu dicip takan dan dipaksakan agar barang industri yang terlanjur diproduksi dapat dijual. Bukan sebaliknya barang industri diciptakan untuk memenuhi kebutuhan. Bisa saja para petani lebih menghendaki sebuah produksi yang mantap dengan cara-cara yang sudah terbukti keunggulannya dari pada mencoba hal-hal baru. Sebab sebuah panen yang tidak berhasil bagi sebagian besar petani bukan saja berarti kurang makan, tapi juga jatuh ke dalam suatu kondisi ketergantungan yang sangat memalukan. Maka mengutamakan keselamatan hampir merupakan ide

LOGIKA MORON NASIONALIS ANAK RUMAHAN DAN KONSTRUKSI HISTORIS SEBUAH MASALAH (Bagian 2)

Oleh Sugali Adonara (Tulisan kedua dari tiga tulisan, mempertanyakan posisi pemuda Adonara terkait pembangunan Bandara dan Jembatan Palmerah) Logika moron nasionalis anak rumahan Sebenarnya agak malas saya untuk menulis belakangan ini. Apalagi menulis sesuatu yang sedikit “serius” diluar kebiasaan menulis cerpen atau puisi. Apalagi ini bersifat kritik kepada sebuah keadaan dimana keadaan tersebut melihat segala soal dari kacamata kuda, apalagi ini kuda peliharaan. Agak asu juga rasanya melihat yang bengkok-bengkok, mulai dari sebuah postingan tentang Larantuka kota kemomos (terlepas dari masyurnya sebagai kota Reinha) dan betapa semangatnya kaum muda dari Mabar mengagitasi dan memfasilitasi warga untuk melawan watak brengseknya pemprov NTT yang hendak merampas satu-satunya ruang rekreasi tersisa bagi warga Mabar, Pantai Pede. Masalahnya usaha meluruskan yang bengkok-bengkok ini dianggap ngapusi atau paling banter cuma pamer intelektual dalam dunia hampa udara. Tapi saya r

TRAGEDI MENARA PEMBANGUNAN (Bagian 1)

Dari suatu jarak yang tercipta, penglihatan itu dilakukan, analisa dibuat, kesimpulan diambil dan teori-teori yang mendukung kesimpulan tertentu itu dicari. Dari sebuah ketinggian dan jarak dilihat bahwa jauh di bawah sana ada ribuan semut merayap-rayap di sekeliling "Menara Pembangunan". Analisanya, semut-semut itu pasti menggangu kenyamanan pengunjung menara itu. Kesimpulannya, semut-semut itu harus ditumpas. Maka dikerahkan pesawat-pesawat terbang untuk menghujankan   insektisida. Setelah operasi dilakukan, sang pengambil keputusan turun ke lantai dasar untuk memeriksa keadaan - mencek keberhasilan operasi itu. Yang ditemui bukannya jasad-jasad semut seperti yang dilihatnya dari ketinggian Menara Pembangunan, melainkan ribuan mayat manusia akibat keracunan insektisida yang diperintahkan untuk disemprotkan. Kenapa kesalahan yang sedemikian fatal ini bisa terjadi? Pertama: jarak terlalu jauh bagi penglihat sehingga manusia yang dilihatnya cuma berukuran semut (sebatas s

AMA KOPONG – SI PETERNAK ISU

Oleh Petronela Somi kedan Sebenarnya ada banyak pekerjaan yang bisa di pilih ama Kopong, dia mewarisi keahlian ayahnya beternak kambing sampai panjang tanduknya melebihi 40 cm ,,, ini spektakuler,,,kemampuan ini mahsyur diantara orang-orang di kampung tempat ama Kopong tinggal. Bukan seperti di pulau tetangga yang kambingnya gampang selfie , galau, pingsan dan mati. Atau, dia bisa memilih ke kebun menanam jagung pun mengiris tuak ,,, kedua pekerjaan yang tidak pernah sia-sia dan dianggap ama Mangu, kakek si ama Kopong, sebagai pekerjaan yang setara dengan putra Altar. Tetapi, ama Kopong tidak mau jadi generasi oplosan-katanya, dia ingin jadi generasi yang menciptakan perubahan dan pembangunan untuk kampungnya -  pembangunan yang dia maksudkan adalah gedung-gedung tinggi seperti yang sering ia lihat dengan tatapan nanar dan kagum setiap kali dia dapat kesempatan mengunjungi ibu  tiri  kota. Maka sudah dia tekadkan,,,dia akan berternak isu saja, hari-hari dia akan membib

MATINYA KRITISISME KAUM MUDA (Bagian 1)

Oleh Sugali Adonara (Ini akan menjadi tulisan pertama saya dari tiga tulisan yang akan mengkritik posisi kaum muda – tidak hanya mahasiswa – dalam melihat geliat dan isu pembangunan terkait Bandara di Adonara dan Jembatan Palmerah). Tidak bisa dipungkiri, Bongkar-nya Iwan Fals adalah salah satu lagu atau hymne pembrontakan terbaik sepanjang sejarah musik Indonesia. Tidak peduli seberapa brengsek lirik lagu Iwan sekarang, sejarah tidak bisa melupakan waktu mudanya ketika dia menuangkan semua energi produktifnya untuk menciptakan lirik-lirik provokatif, termasuk Bongkar yang masyur itu. Yang pada akhirnya lirik itu pernah saya nyanyikan ketika SMP dan ikut demo soal RUU Sidiknas 2002. Dan ternyata itu menjadi hymne gerakan pemuda saat meruntuhkan Soeharto si bengal itu. Bisa dibilang, musisi-musisi muda seangkatan Iwan waktu itu lebih suka menghabiskan energi postifnya dalam lingkar kenyamanan industri dan kehidupan yang tidak mau direcoki intel-intel Soeharto. Tidak jauh b

KOTA MENYAPA PELOSOK

Oleh Baruna Cabodaflora Hei, flamboyan baskara! Bila besok kau hendak mencium rekah bibir barunawati di timur nusa bunga. Katakan padanya, gaung Meko dan Palmerah sudah membentur gendang telinga kota. Hei, bayu kembara! Kalau lusa kau akan mencumbu busung dada perawan pasir putih di timur nusa bunga. Katakan padanya, kasak-kusuk kehadiran bule-bule dan tuan-tuan berkantong tebal 'tuk menikmati kemolekan tubuhnya demi devisa, sudah memantik bara cemburu di hati kota. Hei, nawang wulan! Jika kau berpapasan dengan raja kalong di langit malam sisi timur nusa bunga. Katakan padanya, desah gelisahnya sudah mengusik tidur kota. Kota berkaca gundah dalam secangkir kopi robusta. Kota menyerap nyanyian salam dari desa di lidah Leo Kristi. Kota melihat potret pembangunan dalam bingkai puisi WS. Rendra. Kota menyimak sajak Peringatan Wiji Thukul. Kota mendengar bocah pemancing ikan menangis di dalam solunya di tengah-tengah pekatnya lapar malam dalam syair Saut Situmorang.