TRAGEDI MENARA PEMBANGUNAN (Bagian 2)

Ilustrasi Tragedi Menara Pembangunan di atas seharusnya membawa arus balik pemikiran. Ketika sebuah keputusan diambil semisal memasukan inovasi pertanian untuk petani pedesaan, orang atas mesti bertanya : apakah kenaikan produksi dengan teknologi modern dibutuhkan petani? Jangan-jangan itu bukan kebutuhan petani, tapi kebutuhan suatu dunia industri sarana dan prasarana pertanian dengan jarring-jaringnya yang mengambil keuntungan. Kadang-kadang kebutuhan itu diciptakan dan dipaksakan agar barang industri yang terlanjur diproduksi dapat dijual. Bukan sebaliknya barang industri diciptakan untuk memenuhi kebutuhan. Bisa saja para petani lebih menghendaki sebuah produksi yang mantap dengan cara-cara yang sudah terbukti keunggulannya dari pada mencoba hal-hal baru. Sebab sebuah panen yang tidak berhasil bagi sebagian besar petani bukan saja berarti kurang makan, tapi juga jatuh ke dalam suatu kondisi ketergantungan yang sangat memalukan. Maka mengutamakan keselamatan hampir merupakan ideologi untuk sebagian besar petani yang tidak terlalu banyak mempunyai dukungan pendapatan di luar bercocok tanam. Hal ini sangat bagus dijelakan James C. Scott dalam bukunya Moral Ekonomi Petani (pergolakan dan subsistensi di Asia Tenggara).

Maka dapatlah dimengerti bila para petani ada yang terkesan menolak hal-hal baru yang coba dimasukan dalam cara bertaninya. Dan dapat dimengerti pula bila para petani ada yang rela menyabung nyawanya untuk mempertahankan lahan pertaniannya yang mau digusur atau mau dicaplok. Sebab bertani bagi mereka adalah hidup dan mati dan di luar itu sama halnya "mengeringkan air dari ikan."

Bencana itu terjadi karena apa yang orang atas kira sebagai "obat" justru menjadi "racun" bagi orang bawah. Pupuk buatan PUSRI, bagi orang atas merupakan obat kesuburan tanah. Tapi di tingkat petani tidak jarang ia menjadi racun bagi tanaman karena kesalahan takaran. Atau "racun" bagi keuangan rumah tangga petani yang tidak mempunyai pendapatan tetap dan tidak terbiasa mencatat semua pengeluaran dan pemasukan dengan ketat layak sebuah perusahaan modern. Kadang-kadang, bilapun produksi tinggi, itu dibutuhkan untuk menutupi biaya pupuk yang juga tinggi.

Jangan orang atas hanya sepihak mengatakan, "inilah yang di butuhkan rakyat bawah". Jangan secara sepihak berkesimpulan bahwa pengunjung Menara Pembangunan terganggu dengan semut-semut itu sehingga perlu pembasmian dengan insektisida. Di tingkat atas, keputusan itu seperti mencerminkan adanya tanggung jawab moral, tapi pada tingkat bawah justru membuat mati "pengunjung-pengunjung" Menara Pembangunan ataupun siapa saja yg berkeliaran di seputar menara itu.

Ilustrasi Tragedi Menara Pembangunan ini barangkali terlalu hitam putih melihat keadaan. Tapi itulah yang sementara terjadi hari-hari ini di republik. Dari sebuah puncak kekuasaan, seorang pejabat bilang, "Kerusuhan selama ini disebabkan karena kedangkalan pemahaman rakyat terhadap ajaran agamanya". Atau pernyataan lain, "Kerusuhan itu sudah ditunggangi pihak ketiga". Pejabat lain lagi bilang, "Kerusuhan selama ini disebabkan oleh karena ketidakdisiplinan rakyat". Tapi kalau coba para pejabat itu turun ke bawah, melihat sendiri untuk memahami situasi bawah, maka mereka bisa saja tidak akan menemukan para perusuh, para pihak ketiga. Mereka bisa saja tidak akan menemukan para umat yang iman dan taqwanya berantakan, yang sudah tidak ada kerja lain selain membuat kerusuhan demi kerusuhan itu sendiri. Mereka bisa saja tidak akan menemukannya. Mereka paling-paling menemukan warga negara-warga negara yang baik yang setia membayar pajak dan dengan sabar menunggu janji-janji pembangunan. Mereka paling-paling menemukan orang-orang yang sudah terlalu sering dikalahkan, sudah jatuh tertimpah tangga, kena runtuhan tembok lagi - dan sesekali manusiawi kalau mereka menggerundel. Menggerundel! Dan bukan berteriak karena takut dituduh subversib dan kemudian "dibredel". Tapi tak jarang gerundelan mereka dijawab dengan letusan bedil.

Orang atas terlalu jauh di atas sana, di puncak Menara Pembangunan, sehingga penglihatan mereka dikacaukan atau bias dan mereka melakukan empat kesalahan fatal yang disebutkan sebelumnya. Mereka-mereka itu barangkali belum membaca nasehat penyair kita, Renrdra, "Bergurulah kepada rakyat."

Maka tak mengherankan bila orang-orang yang selalu meihat dari atas tanpa empati atau coba berguru kepada orang bawah, cendrung fanatik mempertahankan pendapat mereka. Hal ini diperburuk lagi dengan penguasaan "senjata-senjata" untuk memaksakan kebenaran versi sendiri dan mengabaikan pandangan-pandangan kritis orang lain. Ilmuwan-ilmuwan yang "dapat dibeli" juga dipakai untuk "memagari" dan memberi kesan ilmiah pada pandangan-pandangan mereka. Maka, menurut mereka, manusia sama dengan semut bila dilihat dari atas Menara Pembangunan yang begitu tinggih itu.

Apa yang terjadi? Segala pemikiran dan tindakan terhadap manusia mengalami bias. Yang menjadi patokan adalah "semutnya" bukan manusianya. Dengan begitu akibat logisnya adalah : pembangunan, tidak jarang malah menyengsarakan dari pada membahagiakan. Karena para perencana dan pengambil keputusan melupakan "manusianya" manusia.

Dalam pembangunan, Tragedi Menara Pembangunan ini sejauh mungkin dihindarkan. Oleh karena itu pembangunan seharusnya dijalankan di atas landasan ilmiah dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Bukan tergantung selera penguasa apalagi diktean pengusaha kapitalis yang berhasil berkolusi. Sebab bila itu terjadi, pembangunan berubah jadi sebuah "eksperimen besar yang gegabah" tanpa landasan teori yang dapat dipertanggungjawabkan, apalagi tujuan moralnya. Tapi yang pasti, yang memikul beban ongkos eksperimen besar yang gegabah dan mahal itu adalah pasti rakyat. Mereka bisa mendadak jadi miskin, tergusur, menderita, menangis, gila bahkan mati : di Kedung Ombo, di Sampang Madura, di Irian Jaya, di Kalimantan, di Mesuji Lampung, di Bima NTB , dimana-mana di Indonesia.

Tragedi itu telah terjadi, membuat pembangunan tidak jarang menjadi sesuatu yang absurd dan mengerikan, karena justru yg menjadi ongkosnya adalah manusia dan kemanusiaan. Dan kita semua mestinya belajar dari ini semua untuk tidak mengulangi kesalahan yg sama, terlebih-lebih para pengambil kebijakan pembangunan (Selesai).

da Ama Nu'en Bani Tulit

Mutiara Dari Woka Belolon

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA

"BEKU” SANG NAGA LAUT YANG PERKASA (Bagian 1)

PREMANISME POLITIK SEBAGAI KETIDAKDEWASAAN BERPOLITIK