KOTA MENYAPA PELOSOK
Oleh Baruna Cabodaflora
Hei, flamboyan baskara! Bila besok kau
hendak mencium rekah bibir barunawati di timur nusa bunga. Katakan padanya,
gaung Meko dan Palmerah sudah membentur gendang telinga kota.
Hei, bayu kembara! Kalau lusa kau akan
mencumbu busung dada perawan pasir putih di timur nusa bunga. Katakan padanya,
kasak-kusuk kehadiran bule-bule
dan tuan-tuan berkantong tebal 'tuk
menikmati kemolekan tubuhnya demi devisa, sudah memantik bara cemburu di hati
kota.
Hei, nawang wulan! Jika kau berpapasan
dengan raja kalong di langit malam sisi timur nusa bunga. Katakan padanya,
desah gelisahnya sudah mengusik tidur kota.
Kota berkaca gundah dalam secangkir
kopi robusta. Kota menyerap nyanyian salam dari desa di lidah Leo Kristi. Kota
melihat potret pembangunan dalam bingkai puisi WS. Rendra. Kota menyimak sajak
Peringatan Wiji Thukul. Kota mendengar bocah pemancing ikan menangis di dalam
solunya di tengah-tengah pekatnya lapar malam dalam syair Saut Situmorang.
Kita tidak anti pembangunan. Tapi
apalah arti bandara yang dibagun di atas tingginya angka kematian ibu-ibu dan
balita, buruknya sanitasi dan kurang gizi, ruas-ruas jalan rusak parah, dugaan
korupsi yang berkeliaran, penerangan yang belum memadai dan pelabuhan-pelabuhan
belum sanggup menjauhkan hasil bumi dari congor - congor cukong lokal?
Kita bukan musuh kemajuan. Tapi apalah
makna pesawat dan jembatan penghubung bagi bocah-bocah yang bersekolah di
bedeng-bedeng beratap reot, dan rakyat menggelepar kelaparan lalu berbagi makan
putak dengan hewan ternak?
Oh, pelosok negeri! Nasibmu Tidak
Tentu, Nanti Tuhan Tolong, Tapi Nalarmu Tidak Tentu.
Oh, lumba-lumba sisi timur nusa bunga!
Kota merasakan ketar-kuatirmu. Dipaksa kawin sebelum waktunya.
Oh, gambar buram keindahan! Kota
menyapamu dalam tanya, " mudarat ataukah maslahat?"
---000---
Cdf, 24.06.2015.
Komentar