Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA

Gambar
Oleh: Marselinus B. Lewerang Rasional Tak ada pulau yang terbentuk sekaligus dengan orang-orang yang menempatinya. Dengan demikian penduduk pertama di sebuah pulau adalah imigran dari luar pulau, baik yang datang orang per orang maupun berkelompok. Karena setiap pulau  berbatasan langsung dengan laut maka di tempo dulu media yang membawa seseorang sampai ke sebuah pulau adalah  air dalam hal ini arus laut, rakit atau perahu. Penduduk asli Lembata, termasuk suku yang mendiami kampung Atakowa juga berasal dari luar pulau. Sebagaimana tuturan lisan yang ditulis kembali Alm. Drs. S.T. Atawolo, disajikan pada seminar budaya Nobo Buto Leragere, 1996. Penduduk asli pulau Lembata datang melalui arus pengungsian besar-besaran dari pulau Nuha ata. Menurut Alm. Ambros Ole Ona,1989.   Nuha ata    adalah sebutan lain dari Lepan Batan . Tuturan lisan alm. Bp Philipus Polo Lewerang, orang-orang asli Atakowa datang dari arah Bobu. Sebuah daerah sekitar tanjung Suba Wutun, pesisir  s

SUDAH SEHARUSNYA KITA KEMBALI LALU MENAPAK LEBIH TINGGI (Bagian 2)

Gambar
Pagi ini mentari tak menampakan wajahnya lantaran malu melihat sekawanan awan yang gagah perkasa menari menyelimuti bumi. Tak lama kemudian hujan turun menyapa kampungku, membasahi perkebunan yang telah lelah menanti kehadirannya. Keresahan masyarakat kami akirnya berunjung dan para petani mulai sibuk mengolah lahan mereka. Aktivitas berkebun sangat rutin dilakukan masyarakat selama musim hujan berlangsung. Kondisi musim  sangat menentukan nasib para petani untuk bisa mendapatkan hasil yang melimpah. Hal demikian berbanding terbalik dengan masyarakat di kota-kota besar. Musim hujan justru menjadi ancaman masyarakat perkotaan karena akan mendatangkan banjir hingga melumpuhkan perekonomian setempat. Kampungku luar biasa bukan? Lebay nih...Hehe Pekerjaan para petani di kampungku masih bergantung pada musim sehingga pendapatan mereka juga tergantung dengan musim yang ada. Biasanya para petani  memanen hasil pertanian  setiap tiga bulan sekali. Belum lagi alam yang tak bersahaba

SUDAH SEHARUSNYA KITA KEMBALI LALU MENAPAK LEBIH TINGGI (Bagian 1)

Gambar
Senja dikala itu begitu indah menghiasi perkebunan di kampung halamanku. Mata tak jemuh-jemuh menikmati kebun beserta segalah isinya. ‘’Alangkah indahnya alam ciptaan-Mu Tuhan.” Demikian perkaatan yang kusampaikan dalam lamunanku. Tak terasa malam menghampiri, menyadarkanku dalam lamunan indah. Akhirnya kujajahkan kaki pada setapak nan kecil berkerikil di kelilingi pepohonan kelapa menyaksikan langkahku. Seketika tiba hembusan angin bercampur aduk dengan kicauan burung menjadi satu; menghasilkan suara harmonis menghantar perjalanan pulangku. Kampungku merupakan daerah agraris; daerah dengan limpahan hasil pertanian dan perkebunan. Masyarakat hidup dari lahan ini sampai bisa menyekolahkan anak-anak hingga ke jenjang perguruan tinggi. Hebat bukan? Bukan hanya itu saja, kampungku juga menyimpan banyak keistimewaan yang lain seperti keragaman agama, suku dan budaya yang membuat kampungku menjadi berwarna seindah pelangi di kalah hujan berlalu. Perbedaan adalah kekuatan masaya

JIKA PENELOPE CRUZ DAN/ATAU JULIA ROBETS TELANJANG

(Globalisasi Dan Siasat Kita) Jika kita sulit memahami apa itu globalisasi, maka cari saja penjelasan dalam dunia mode: apa itu pakaian atau potongan rambut, maka menjadi sedikit lebih jelas "potongan" globalisasi itu. Jika di Paris, yang terkenal sebagai kota mode dunia, orang cendrung menyukai warna merah dan potongan rambut cepak untuk model pria maupun wanita, maka di seluruh dunia semua orang muda cendrung memakai baju berwarna merah dan berambut cepak. Dunia pabrik kainpun dengan segera merubah warna-warna kainnya untuk menyesuaikan kecendrungan di Paris. Kecendrungan ini kadang-kadang sulit dipahami karena pada dasarnya semua manusia itu tidak sama dalam segala hal : selera, gaya hidup, kekuatan ekonomi, pemikiran. Tapi kenapa kita menyukai sesuatu yang bersifat penyeragaman? Ide "sense of belonging" memberi jawab. Bahwa "rasa termasuk ke dalam suatu kelompok", juga adalah kebutuhan, sama seperti orang butuh makan nasi, minum teh bo

PREMANISME POLITIK SEBAGAI KETIDAKDEWASAAN BERPOLITIK

Oleh:  Ryko De Buser Di Flores Timur (Flotim) saat ini, situasi semakin membahana dengan gejolak dan isu-isu Pilkada, berbagai jagoan dengan caranya masing-masing mulai menampakan diri mereka diatas permukaan. Parah komunikator politik sudah mulai heboh dengan mengobral kata-kata. Ya, lebih tepatnya, bermain kata-kata ( language game ). Semua calon berupaya terlihat sempurna di mata masyarakat Flotim. Dalam teori dramaturgi Erving Goffman, panggung depan ( front stage ) kandidat dikemas sedemikian rupa untuk menyihir khalayaknya guna mendapatkan kesan positif atau dalam bahasa Goffman disebut sebagai impression management (manajemen kesan). Padahal, apa yang dipertontonkan di depan panggung itu hanya sekadar drama belaka guna pencitraan politik(political imaging). Semua momen akan dimanfaatkan semaksimal mungkin. Setiap tim sukses dari tiap Paket calon juga bekerja ekstra menarik hati masyarakat. Terjadilah pertarungan janji-janji membual yang terkadang jauh dari nalar