PREMANISME POLITIK SEBAGAI KETIDAKDEWASAAN BERPOLITIK
Oleh: Ryko De Buser
Di Flores Timur (Flotim) saat ini, situasi semakin membahana
dengan gejolak dan isu-isu Pilkada, berbagai jagoan dengan caranya
masing-masing mulai menampakan diri mereka diatas permukaan. Parah komunikator
politik sudah mulai heboh dengan mengobral kata-kata. Ya, lebih tepatnya,
bermain kata-kata (language game).
Semua calon berupaya terlihat sempurna di mata masyarakat
Flotim. Dalam teori dramaturgi Erving Goffman, panggung depan (front stage) kandidat dikemas sedemikian
rupa untuk menyihir khalayaknya guna mendapatkan kesan positif atau dalam
bahasa Goffman disebut sebagai impression
management (manajemen kesan). Padahal,
apa yang dipertontonkan di depan panggung itu hanya sekadar drama belaka guna
pencitraan politik(political imaging).
Semua momen akan dimanfaatkan semaksimal mungkin. Setiap tim
sukses dari tiap Paket calon juga bekerja ekstra menarik hati masyarakat.
Terjadilah pertarungan janji-janji membual yang terkadang jauh dari nalar kita.
Bualan politik ini seolah dianggap hal yang wajar dalam konteks berpolitik.
Tidak salah memang seperti bahasa Kopong Kese kalau sebagian besar aktivitas
politik itu merupakan permainan kata-kata.
Namun karena terlena dengan motivasi mendapatkan dukungan
politik sebanyak-banyaknya, kadang kala pilihan kata yang bertendensi
mencari-cari kekurangan lawan politik seolah menjadi senjata pamungkas.
Ujung-ujungnya, kontestasi politik yang seharusnya menjadi sarana mengedukasi
masyarakat berubah haluan menjadi ajang pertunjukan kekerasan dan premanisme
politik.
Penggunaan kata-kata sindiran bahkan berbau SARA seringkali
menjadi tontonan kurang bijak termasuk melalui media sosial. Tidak hanya
berhenti pada kekerasan psikis dan kekerasan simbolik saja. Berbagai kekerasan
fisik antar massa pendukung juga seringkali mewarnai setiap perhelatan pesta
demokrasi di tanah air tercinta khususnya Flotim. Munculnya kekerasan dan
premanisme politik ini sesungguhnya dapat dibaca sebagai bentuk dari
ketidakdewasaan berpolitik. Karena itu, Kopong Kese mengklaim kalau praktek
politik saat ini adalah yang paling aneh, paling absurd (tidak masuk akal), paling unik dan sekaligus paling sulit
diramalkan.
Bagaimana Membangun Komunikasi Politik yang Beretika dalam
Pilkada? Membicarakan etika maka pikiran kita akan tertuju pada akhlak, moral,
nilai-nilai yang bisa membedakan apa yang baik dan apa yang buruk dalam
masyarakat. Etika dalam masyarakat juga berguna sebagai penuntun bagaimana
seharusnya kita menjalankan kehidupan ini. Hemat saya, membangun komunikasi politik yang beretika
merupakan satu-satunya solusi mengembalikan pilitik ideal di daerah kita.
Caranya bagaimana?
Pertama, bangun
komunikasi politik yang mindfull. Seorang komunikator politik yang dewasa bisa
dilihat melalui perilaku dan tutur katanya. Tidak harus menghabiskan seluruh
energi untuk melakukan pengelolaan panggung depan yang berlebihan untuk
menaikan pamor, jati diri, dan bahkan citra politiknya. Bersahaja, tidak
pura-pura,rendah hati, tulus, dan santun dalam menyampaikanpesan politik,
justeru itu yang disukai rakyat.
Kalau selama ini ia dekat dengan rakyat, menunjukkan karakter
jujur, dan berpihak pada rakyat kecil, maka dukungan politik dengan sendirinya
akan diraih. Konsep Kopong Kese tentang mindfullness
rasanya juga relevan untuk komunikasi politik yang beretika. Karakteristik
berkomunikasi yang mindfull
mengandung makna bahwa seorang komunikator politik perlu mengedepankan
apresiasi, tidak apriori terhadap lawan politik, tidak hanya mencari keuntungan
diri-sendiri, perhatian pada situasi dan konteks komunikasi politiknya, dan open minded sehingga tidak terjebak dalam
perangkap politik identitas dan transaksional.
Kedua, pencerahan politik. Ujung tombak kemenangan kandidat adalah
tim sukses. Merekalah yang bekerja di belakang layar untuk menyukseskan paket
calonnya guna mendulang suara. Selain tim sukses, keberadaan simpatisan juga
ikut mewarnai semaraknya aktivitas politik. Nah, simpatisan dan atau massa
pendukung ini biasanya cenderung fanatik. Ini akan memicu kericuhan Pilkada.
Karena itu, untuk membangun komunikasi politik yang beretika maka setiap paket
calon bupati dan wakil bupati harus bertanggungjawab memberi pencerahan politik
tentang pentingnya komunikasi politik yang damai dan simpatik bagi tim sukses
dan massa pendukungnya.
Ketiga, netralitas media. Tidak dapat dipungkiri bahwa media
mempunyai andil besar dalam proses komunikasi politik sebelum, selama, dan
setelah proses Pilkada. Hanya saja, Media yang tidak bertanggung jawab
berpotensi “ditunggangi” oleh kelompok-kelompok tertentu untuk tujuan membangun
opini publik dan propaganda politik yang menyesatkan dan tidak beretika.
Karena itu, membangun komunikasi politik yang beretika juga
butuh pengertian baik dan komitmen institusi pers dalam melakukan peliputan.
Masyarakat sangat menaruh ekspektasi yang positif pada media untuk tetap
berdiri pada posisi yang netral dan tidak memihak. Dengan demikian, kehadiran
media tetap senantiasa berada pada koridor yang sesungguhnya sebagai saluran
integrasi bangsa dalam turut memberikan edukasi politik yang baik bagi
masyarakat.
Bila ketiga hal ini diperhatikan maka niscaya aktivitas
komunikasi politik menjelang Pilkada menjadi lebih bermartabat. Berbagai
kisruh, kekerasan dan premanisme politik di daerah kita tercinta dapat diredam.
Sekali lagi, kuncinya,butuh kesadaran dan pengertian bersama semua pihak untuk
menciptakan iklim komunikasi politik yang baik guna mewujudkan masyarakat yang
dewasa secara politik. Semoga!
Komentar