JIKA PENELOPE CRUZ DAN/ATAU JULIA ROBETS TELANJANG
(Globalisasi Dan Siasat Kita)
Jika kita
sulit memahami apa itu globalisasi, maka cari saja penjelasan dalam dunia mode:
apa itu pakaian atau potongan rambut, maka menjadi sedikit lebih jelas
"potongan" globalisasi itu.
Jika di Paris,
yang terkenal sebagai kota mode dunia, orang cendrung menyukai warna merah dan
potongan rambut cepak untuk model pria maupun wanita, maka di seluruh dunia
semua orang muda cendrung memakai baju berwarna merah dan berambut cepak. Dunia
pabrik kainpun dengan segera merubah warna-warna kainnya untuk menyesuaikan
kecendrungan di Paris.
Kecendrungan
ini kadang-kadang sulit dipahami karena pada dasarnya semua manusia itu tidak
sama dalam segala hal : selera, gaya hidup, kekuatan ekonomi, pemikiran. Tapi kenapa
kita menyukai sesuatu yang bersifat penyeragaman?
Ide
"sense of belonging" memberi jawab. Bahwa "rasa termasuk ke
dalam suatu kelompok", juga adalah kebutuhan, sama seperti orang butuh
makan nasi, minum teh botol. Des, untuk menjadi sama dengan seorang model di
Paris, dalam hal pakaian dan potongan rambut, juga adalah kebutuhan, Tanpa itu,
mereka merasa asing di tengah dunia yang seragam. Dan lebih para lagi, merasa
udik dan inferior.
Persoalannya,
batas antara mengikuti trend dengan kelatahan menjadi sangat tipis, dan
cendrung latah. Globalisasi bukan hanya berarti kita harus latah mengikuti
trend yang berlaku di Paris. Globalisasipun memberikan peluang bagi setiap
orang atau setiap bangsa berdiri di atas tradisinya, tanpa harus menjadi
tradisional, dan memperkenalkan tradisinya itu kepada dunia dan mengatakan:
inilah kami, kita memang berbeda.
Tanpa ini,
suatu saat kita justru membayar ahli sejarah untuk merekontruksi tradisi kita yang
kita tingggalkan dan mencari siapa kita di tengah penyeragaman. Karena kita
tidak tahu siapa kita : orang Barat Pariskah, Orang Timur Tengah Arabkah, atau
orang Timur Nusantara.
Lihatlah
sebuah contoh kecil ini. Dalam pertemuan dunia dimana pemimpin-pemimpin negara
dari berbagai negara berkumpul. Pemimpin negara dari India, Philipina, Arab
Saudi, Eropa,dan bbrpa negara dr Afrika paling mudah dikenali karena mreka
berpakaian sesuai tradisinya. Tetapi pemimpin atau pejabat-pejabat negara kita
sulit dikenali sampai ada penjelasan dari MC bahwa seseorang yang baru disorot
kamera tv itu pemimpin dari Indonesia, karena berpakaian ala Eropa.
Sebenarnya
globalisasi itu tidak menghendaki penyeragaman yang berkiblat ke Barat atau
kemanapun. Globalisasi menghendaki kitapun mengglobalkan tradisi kita sehingga
dikenali dunia, jangan malah berlari meninggalkannya.
Jika kita
berlari meninggalkan tradisi kita, dunia akan menangis karena kehilangan suatu
kebudayaan yang pernah ada. Dan ini butuh usaha besar, dana besar untuk
merekontruksinya. Globalisasi menghendaki kita menyumbang sesuatu yang baik
dari kita ke dalam kehidupan global sehingga jadi sebuah mosaik yang lebih
hidup, lebih berwarna dan lebih kaya.
Persoalannya, apakah setiap kita atau
setiap bangsa mensiasati globalisasi dengan benar? Apakah setiap kita atau setiap
bangsa sudah cukup "percaya diri" untuk mengatakan : inilah aku -
inilah kami, kita memang berbeda? Apakah setiap kita atau setiap bangsa sudah
cukup percaya diri untuk mengatakan itu? Negara kita melalui Presiden kita,
Bapa Jokowi telah melakukan itu dengan memperkenalkan batik dan motif-motif
Nusantara yang lain termasuk "nowin" Adonara ke dunia.
Nampaknya kita yang di bawa masih
harus terus belajar untuk percaya diri dan "menjadi diri sendiri" untuk
mensiasati globalisasi dng benar, agar kita tidak jatuh menjadi latah dan
hilang dalam penyeragaman. Sebab, globalisasi itu bgitu dahsyatnya. Kalau tidak
percaya, lihatlah. Di suatu hari kemarin, jika Demi Moore atau Eric Cantona
membotaki kepalanya, maka ribuan bahkan jutaan anak muda putra dan putri di
seluruh dunia membotaki kepalanya dan berkata kepada orang tua mreka dngn
bangga bhw ini adalah mode rambut paling muktahir hari ini.
Globalisasi ini, bila kita kehilangan
kekeritisan, jadi sangat menakutkan. Bila ada orang iseng yang punya duit
banyak membayar Penelope Cruz dan atau Julia Robets untuk telanjang dan
berlenggang di jalanan kota Paris dan New York sambil berteriak : "fredom
of clothes”, hanya untuk membuktikan betapa dahsyatnya globalisasi dan kiblat
globalisasi adalah disana, bukan di sini, apa yang terjadi? Apa yang terjadi dengan
putra-putri kita yang terlanjur menjadi "sama dengan mereka dalam hal
mode" sebagai suatu kebutuhan layak orang makan-minum dan menghirup udara?
Apa yang terjadi?
Orang-orang kritis dan penuh percaya
diri pasti tidak akan mau jadi "domba-domba dungu" yang digelandang
ke sana kemari. Dan oleh karena kita bukanlah domba-domba apalagi dungu, maka
mari kita buktikan bahwa kitapun bisa mensiasati globalisasi dengan benar. Dan
bila Penelope Cruz dan atau Julia Robets jadi benar-benar telanjang, mereka
telanjang sendirian. Dan mereka tidak sedang membuktikan apapun juga. Kecuali bahwa
mereka memang benar-benar berkelamin perempuan. Apalagi, memperjuangkan
sesuatu? Idealisme, tidak! Kebaikan bersamapun tidak.
da Ama Nu'en
Bani Tulit
Mutiara Dari
Woka Belolon
Komentar