KEJAHATAN DI BALIK GLOBALISASI NEOLIBERALISME (2)


Memimpikan Penghisapan Yang Tak Henti-hentinya
(Inti-sari Neoliberalisme)[1]

Oleh: Pierre Bordieu[2]

Apa kah neoliberalisme itu? Suatu program untuk menghancurkan struktur kolektif--yang bisa menghambat logika pasar murni.

Dalam wacana yang dominan, dunia ekonomi dianggap sebagai tatanan yang murni dan sempurna; wacana yang bersikukuh mengaku bisa membeberkan logika konsekuensi-konsekuensinya (karena bisa diprediksi); wacana yang dengan segera menindak semua pelanggaran dengan sanksi yang keras, baik secara otomatis atau--lebih tak lazim--melalui perantaraan penggunaaan kekuatan bersenjata, menggunakan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), menggunakan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD), dan menggunakan kebijakan-kebijakan yang mereka paksakan: mengurangi biaya tenaga kerja (upah buruh), mengurangi pembelanjaan publik, dan mengupayakan agar kerja menjadi lebih fleksibel. Apakah wacana yang dominan tersebut benar? Bagaimana jika, dalam kenyataan nya, tatanan ekonomi tersebut tak lebih dari sekadar upaya untuk mewujudkan utopia--utopia neoliberalisme--yang kemudian berubah menjadi suatu problem politik? Sesuatu yang, dengan bantuan teori ekonomi yang diproklamirkan nya, sukses mengkhayalkan dirinya seolah-olah sebagai suatu penjelasan ilmiah tentang kenyataan?

Teori yang menggurui itu sepenuhnya merupakan fiksi matematis. Sejak awal sudah bisa dimengerti bahwa teori nya berlandaskan abstraksi yang sangat padat. Karena mengatasnamakan konsepsi rasionalitas yang dangkal dan ketat--yakni rasionalitas individual--maka teori tersebut mengabaikan orientasi-orientasi rasional kondisi-kondisi sosial dan ekonomi, dan mengabaikan stuktur-struktur ekonomi serta sosial yang menjadi syarat bagi penerapannya.

Untuk menakar kelalaian tersebut, cukup lah dengan berpikir tentang sistem pendidikan. Pendidikan tak pernah diperlakukan dengan selayaknya, walaupun ia memainkan peran yang menentukan dalam produksi barang dan jasa, bahkan juga dalam memproduksi produsen nya itu sendiri. Dosa asal ini--sebagaimana yang tertulis dalam mitos Walrasian[3] tentang “teori murni”--merupakan sumber seluruh cacat dan pelanggaran terhadap disiplin ilmu ekonomi. Selain itu, yang merupakan basis kesalahan fatal nya adalah: bahwa logika ekonomi yang selayaknya, katanya, harus didasarkan pada kompetisi dan efesiensi; yang bertentangan dengan logika sosial (yang merupakan subyek untuk menegakkan keadilan). Walaupun pemahaman terhadap pertentangan tersebut, tentu saja, serampangan tapi, (semata-mata) eksistensi nya lah yang memaksanya mengikatkan diri pada kesalahan tersebut.

Memang, “teori” tersebut tak memiliki watak sosial dan ahistoris sejak dari akarnya. Tapi, saat ini, lebih dari sebelumnya, mereka mengaku memiliki cara/peralatan untuk membenarkan dirinya dan, katanya, secara empiris, bisa diuji. Akibatnya, wacana neoliberal bukan lah satu-satu nya wacana di antara sekian banyak yang lainnya. Ia lebih layak disebut sebagai “wacana yang kuat”--seperti wacana psikatri di satu rumah sakit jiwa, sebagaimana dalam analisis Erving Goffman.[4]

Wacana tersebut begitu kuat dan sangat sulit diserang (hanya) karena di pihaknya ia memiliki seluruh kekuatan dari dunia relasi kekuatan--suatu dunia yang andil nya memang memberikan kekuatan pada wacana tersebut. Yakni (terutama) dengan mengarahkan pilihan-pilihan ekonomi dari mereka yang mendominasi relasi ekonomi. Karenanya, wacana tersebut kemudian bisa menambahkan kekuatan simbolik nya (sendiri) ke dalam relasi kekuatan tersebut. Atas nama program ilmiah tersebut, yang diubah menjadi perencanaan tindakan politik, suatu proyek politik besar sedang dijalankan--meskipun status demikian itu disangkal nya karena terlihat sangat negatif. Proyek tersebut bertujuan menciptakan kondisi-kondisi agar “teori” tersebut bisa mewujudkan dan memfungsikan: sebuah program untuk menghancurkan (secara metodelogis) struktur kolektif.

Gerakan untuk meraih utopia neoliberal--yakni pasar yang murni dan sempurna--bisa diwujudkan melalui politik deregulasi finansial. Dan hal itu bisa dicapai melalui tindakan yang bisa mentransformasikan dan (ini harus diungkapkan) yang bisa menghancurkan semua ukuran-ukuran politik--yang terbaru adalah Perjanjian Investasi Multilateral [Multilateral Agreement on Investment (MAI), yang dirancang untuk melindungi perusahaan-perusahaan asing dan investasinya dari gangguan negara setempat/nasional]. Tujuannya adalah agar bisa mempertanyakan setiap dan semua struktur kolektif yang dapat menghalangi logika pasar murni: bangsa, yang ruang geraknya harus terus-menerus dikurangi; kelompok kerja, melalui cara (sebagai contoh) individualisasi gaji dan jenjang karir, yang harus dianggap sebagai fungsi untuk menakar kompetensi individual sehingga, konsekunsinya, memecah belah (atomisasi) buruh; kolektif yang membela hak-hak buruh, serikat-serikat buruh, perhimpunan-perhimpunan, koperasi-koperasi, bahkan keluarga, akan dihilangkan kontrolnya atas konsumsi karena pasar dibentuk berdasarkan kelompok umur.

Program neoliberal mendapatkan kekuatan sosial nya melalui kekuatan politik dan ekonomi dari mereka yang kepentingannya diuntungkan: para pemegang saham, para operator keuangan, para industrialis, para politisi konservatif atau sosial-demokratik (yang telah diubah menjadi penjamin dikukuhkannya pasar bebas), pejabat-pejabat keuangan tingkat-tinggi (yang sangat bernafsu/serampangan mendesakkan kebijakan-kebijakan--yang, sebenarnya, merupakan anjuran untuk membunuh dirinya sendiri--karena mereka, tak seperti manajer perusahaan, tak memiliki resiko untuk membayar konsekuensinya di kemudian hari). Neoliberalisme, secara keseluruhan, cenderung dengan liciknya memisahkan ekonomi dari realitas sosial dan, dengan demikian, dalam kenyataan nya, sedang membangun sebuah sistem ekonomi yang bisa disesuaikan dengan gambaran teori murni--semacam mesin logika yang menampilkan dirinya sebagai belenggu pembatas yang mengatur agen-agen ekonomi.

Globalisasi pasar-pasar keuangan, apalagi saat digabungkan dengan kemajuan teknologi informasi, bisa menjamin mobilitas kapital lebih dari yang sebelumnya. Sehingga investor--yang khawatir terhadap keuntungan jangka pendek investasi mereka--bisa diberikan kemungkinan (secara permenen) untuk membandingkan keuntungan investasi nya dengan keuntungan investasi perusahaan-perusahaan besar. Konsekuensi nya, informasi tersebut menjadi tekanan/ancaman bagi perusahaan-perusahaan yang keuntungannya mengalami kemunduran relatif. Dihadapkan pada ancaman permanen itu, perusahaan-perusahaan tersebut harus menyesuaikan dirinya lebih, lebih, cepat lagi terhadap perubahan pasar yang tak terduga; juga terhadap ancaman “kehilangan kepercayaan pasar”; juga sama hal nya, seperti yang mereka katakan, ancaman kehilangan dukungan dari para pemegang saham mereka. Para pemegang saham--yang cemas hanya bisa meraih keuntungan jangka pendek--menjadi lebih dan lebih mungkin untuk memaksakan kehendak mereka kepada para manajer: dengan menggunakan badan-badan keuangan, mereka menciptakan aturan main bagaimana seharusnya manajer bekerja, dan membuatkan kebijakan (bagi para manajer) tentang penerimaan tenaga kerja, kesempatan kerja, dan upah.

Dengan demikian, kekuasaan absolut (fleksibilitas) nya bisa terbentuk. Fleksibilitas untuk memperkerjakan buruh dengan basis kontrakan (atau hanya dalam jangka waktu tertentu saja; atau sesuai dengan restrukturisasi perusahaan, yang sedemikian sering); dan fleksibilitas untuk menerapkan watak kompetisi di dalam perusahaan itu sendiri, antar-divisi yang otonom, sebagaimana juga antar-kelompok kerja, agar buruh bisa dipaksa menjalankan fungsi-fungsi ganda. Akhirnya, kompetisi tersebut meluas hingga antar-individu sendiri, melalui individualisasi hubungan upah: menetapkan capaian-capaian hasil kerja individual, evaluasi (permanen) hasil kerja individual, kenaikan upah secara individual, atau pemberian bonus yang berfungsi untuk menakar nilai kompetensi dan jasa individual; jenjang karir yang diindividualisasi; strategi “pelimpahan tanggung jawab” yang bertujuan menjamin eksploitasi-diri sang bawahan (staff)--yang, di satu sisi, sekadar buruh upahan biasa (bila dikaitkan dengan ketergantungannya terhadap hirarki yang di atasnya) tapi, di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab terhadap penjualan nya, produksi nya, kantor-kantor cabang nya, dan sebagai nya seolah-olah mereka adalah kontraktor independen. Tekanan untuk “mengontrol diri sendiri” tersebut memperluas “keterlibatan” buruh berdasarkan teknik “manajemen partisipatif”, yang jauh melampaui kemampuan manajemen nya. Semua itu merupakan teknik dominasi (rasional) yang memaksa buruh terlibat-berlebihan dalam kerja (tak sekadar dalam manajemen), dan memaksa buruh bekerja seperti di bawah kondisi darurat atau tekanan-tinggi. Dan semua nya itu ditumpuk-tumpuk bebannya sehingga melemahkan bahkan meniadakan nilai-nilai kolektif atau solidaritas.[5]

Dengan cara seperti itu, nampaknya dunia Darwinian sedang diterapkan dalam kehidupan kita--yakni pertempuran sesama makhluk di semua tingkat hirarki, sehingga sulit mencari dukungan karena semua orang berusaha mempertahankan pekerjaan dan organisasi nya di bawah kondisi yang mengancam, menderita, dan tertekan. Tak diragukan lagi, upaya (praktis) untuk mengkukuhkan dunia yang penuh dengan perjuangan tidak lah akan berhasil (sepenuhnya) tanpa kerumitan, terutama dalam mengaturkeadaan genting--yang menciptakan perasaan tak aman bagi keberadaan cadangan tenaga kerja (yang masih menganggur), yang dijinakkan oleh proses sosial yang justru membuat situasi mereka menjadi genting, tak bedanya dengan ancaman pengangguran yang membayangi nya secara permanen. Cadangan tenaga kerja (pengangguran) tersebut ada di semua tingkat hirarki, bahkan di tingkatan yang lebih tinggi, terutama di kalangan para manajer. Pondasi utama seluruh tatanan ekonomi yang ditempatkan di bawah simbol kebebasan ini sebenarnya memberikan dampak kekerasan struktural--pengangguran, tak amannya posisi dalam pekerjaan, dan ancaman pemecatan sementara. Kondisi “harmoni” untuk menjalankan model ekonomi-mikro individualis tersebut memunculkan fenomena massal--bala tentara pengangguran.

Kekerasan struktural tersebut juga dibebankan pada apa yang mereka sebut buruh kontrakan (yang dirasionalisasi dengan bijaksana dan diubah menjadi tidak nyata berdasarkan “teori kontrak”). Wacana organisasi tak pernah dibicarakan sebanyak pembicaraan tentang kepercayaan, kerjasama, kesetiaan, dan budaya organisasi, sebagaimana layaknya pada era ketika sokongan terhadap organisasi bisa diperoleh setiap saat dengan menyingkirkan semua jaminan sementara dalam penyediaan lapangan pekerjaan [padahal tiga perempat nya dari lapangan kerja yang tersedia diberikan untuk masa kerja yang sudah ditentukan, proporsi pekerja musiman terus meningkat, pekerjaan “sesuka hati” (pekerjaan apa saja) dan hak memecat individu cenderung dibebaskan, tak diberi batasan apapun].

Jadi, kita bisa melihat bagaimana utopia neoliberal berusaha mewujudkan dirinya dalam kenyataan dengan menjadi semacam iblis yang bengis, yang memiliki kebutuhan untuk memaksakan dirinya bahkan kepada penguasa. Seperti Marxisme pada masa-masa awal nya yang, dalam hal ini, memiliki banyak kesamaan, yakni utopia nya membangkitkan kepercayaan yang sangat kuat--iman perdagangan bebas--tak hanya di antara mereka yang hidup dari nya, seperti pemodal, pemilik dan manajer perusahaan-perusahaan besar, dan sebagainya, tapi juga di antara mereka yang mendapatkan justifikasi untuk bertahan dalam sistem tersebut, seperti pejabat pemerintah dan politisi tingkat tinggi. Agar mereka bisa mensucikan kekuasaan pasar (atas nama efisiensi ekonomi), maka hambatan administratif atau politis harus dihapuskan karena bisa mengganggu pemilik kapital (dalam upaya individualnya) memaksimalkan keuntungan individual--yang telah diubah sehingga memiliki model rasionalitas nya. Mereka menghendaki bank sentral yang independen. Dan mereka mengkhotbahkan ketundukan negara-bangsa pada syarat-syarat kebebasan ekonomi demi para penguasa/pemilik ekonomi, dengan menyingkirkan segala peraturan terhadap pasar apa pun--dimulai dari pasar tenaga kerja, larangan terhadap defisit dan inflasi, swastanisasi besar-besaran dalam pelayanan publik, dan pengurangan pembelanjaan publik serta sosial.

Para ekonom mungkin tak perlu ikut berbagi kepentingan ekonomi dan sosial dengan para penganut setia nya, dan mungkin memiliki pendapat bathin yang beragam mengenai dampak ekonomi dan sosial akibat utopia neoliberal ini--yang mereka selubungi dengan alasan matematis. Namun, mereka cukup memiliki kepentingan khusus dalam bidang ilmu ekonomi--yakni harus memberikan sumbangan berarti bagi produksi dan reproduksi kepercayaan pada utopia neoliberal ini. Karena menolak kenyataan dunia ekonomi dan sosial--tentu saja karena keberadaan mereka dan, di atas segalanya nya, karena formasi intelektual mereka (yang lebih sering sangat abstrak, terpaku pada buku, dan teoritis)--maka mereka, terutama, cenderung mengacaukan antara perangkat-perangkat logika dengan logika perangkat-perangkat.

Para ekonom tersebut mempercayai model yang hampir tak pernah sempat mereka uji dengan pembuktian eksperimental, dan cenderung memandang rendah hasil ilmu-ilmu historis lainnya—yang, tak pernah mengakui kemurnian dan kerjernihan permainan matematis mereka, yang kebutuhan sejati dan kerumitan nya (yang sangat berat) tak sanggup mereka mengerti. Mereka terlibat dan bekerjasama dalam perubahan ekonomi-sosial yang dahsyat. Bahkan seandainya pun beberapa konsekuensinya menakutkan mereka (mereka bisa bergabung dalam partai sosialis dan memberikan masukan pengetahuan bagi perwakilan-perwakilan nya di struktur kekuasaan), namun mereka tak menggusarkannya. Mereka tak gusar menyerahkan kesimpulan tentang realitas kepada utopia ultra-logika (ultra-logika seperti dalam beberapa bentuk penyakit gila), tempat mereka mengabdikan hidupnya. Mereka tak gusar karena, katanya, resiko kegagalannya kecil, dan kegagalan tersebut akan mereka persalahkan pada apa yang mereka sebut “gagasan spekulatif”.

Namun dunia masih tetap ada, yang menanggung beban-dampak (yang segera terlihat) dari penerapan mimpi besar neoliberal: tak hanya kemiskinan segmen masyarakat ekonomi maju, yang semakin meluas saja; kesenjangan pendapatan yang tumbuh pesat; penyingkiran (terus menerus) produk bidang-bidang budaya yang otonom, seperti film, penerbitan, dan sebagainya, melalui pemaksaan nilai-nilai komersial yang mengganggu. Selain itu juga, yang lebih penting dari semuanya, munculnya dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk menghancurkan semua lembaga kolektif yang mampu melawan dampak dari mesin iblis tersebut, terutama lembaga negara--gudang/wadah bagi semua nilai universal yang berkaitan dengan ide dunia publik. Kedua, kecenderungan pemaksaan (di mana-mana) dalam dunia ekonomi (yang lebih tinggi) dan negara (yang dianggap sebagai jantung dari perusahaan-perusahaan). Kecenderungan kedua tersebut semacam Darwinisme moral, yakni: dengan pemujaan pada pemenang--yang dididik oleh matematika tingkat tinggi dan bungee jumping--dilembagakan lah pertempuran sesama makhluk dan sinisme sebagai norma setiap tindakan dan perilaku.

Bisa kah diharapkan bahwa penderitaan massal yang luar biasa, yang dihasilkan oleh rejim politik-ekonomi semacam itu, suatu hari nanti akan menjadi titik tolak suatu gerakan yang mampu menghentikan perlombaan menuju jurang kehancuran ini? Sungguh, dalam hal ini kita berhadapan dengan paradoks yang luar biasa. Hambatan-hambatan bermunculan dalam upaya merealisasikan tatanan baru bagi individu-individu (kesepian) tapi bebas ini, yang kini bertahan menjadi orang yang tak bisa disalahkan dan tak mengenali jejak-jejaknya. Semua intervensi langsung dan sadar dalam bentuk apapun, apalagi bila itu berasal dari negara, belum apa-apa sudah didiskreditkan, dihujat agar segera menyingkir, demi keuntungan sebuah mekanisme murni dan tak bernama--pasar, yang hakikat nya (sebagai tempat di mana kepentingan diuji) dilupakan. Tapi, dalam kenyataan, apa yang menjaga tatanan sosial dari kehancuran (agar tak kacau balau), walau jumlah populasi yang harus dilindungi terus bertambah, adalah kesinambungan atau bertahannya lembaga dan perwakilan tatanan lama yang masih dalam proses kehancuran, serta bekerjanya semua kategori pekerja sosial, sebagaimana juga masih adanya semua bentuk solidaritas sosial, kekeluargaan atau yang lainnya.

Transisi menuju “liberalisme” terjadi dengan cara yang tak kentara, layaknya pemisahan benua, sehingga menyembunyikan dampaknya dari pandangan. Konsekuensi yang paling mengerikan adalah dampak yang berjangka panjang. Dampak-dampak nya sendiri bisa disembunyikan (secara paradoksal) karena ada perlawanan (terhadap apa yang dihasilkan oleh transisi tersebut), yang bangkit di kalangan mereka yang mempertahankan tatanan lama dengan mendekatkan sumber daya yang dimiliki nya pada solidaritas lama, pada cadangan kapital sosial, yang akan melindungi seluruh bagian dari tatanan sosial sekarang ini dari kejatuhan, dari penyimpangan. Nasib kapital sosial tersebut akan melenyap--walau bukan dalam waktu mendekat--bila tak diperbarui dan direproduksi.

Tapi kekuatan yang hendak “mengawetkan” tatanan lama ini--yang terlalu mudah dianggap sebagai konservatif--juga merupakan, dari sudut pandang lain, kekuatan perlawanan terhadap pembangunan tatanan baru, dan bisa menjadi kekuatan subversif. Jika memang masih ada alasan untuk memiliki beberapa harapan, itu karena masih ada kekuatan, baik dalam institusi negara maupun dalam orientasi aktor-aktor sosial nya (khususnya individu dan kelompok-kelompok yang paling melekat dengan pranata-pranata tersebut) yang memiliki tradisi pelayanan sipil dan publik. Kekuatan tersebut--di bawah penampakan (sederhana saja) sebagai kekuatan yang bertujuan mempertahankan tatanan yang telah menghilang, tentu saja juga untuk mempertahankan “privilese” yang menyertainya (itu lah alasan tuduhan yang dengan segera akan ditimpakan kepada mereka)--akan mampu menghadapi tantangan tersebut hanya bila bisa menemukan dan membangun tatanan sosial yang baru. Yakni tatanan sosial yang tak akan memiliki satu-satunya hukum--yang mengejar kepentingan egoistis dan hasrat individual akan keuntungan--dan yang akan memberikan ruang bagi orientasi kolektif--yang secara rasional mengejar tujuan yang hendak dicapai bersama dan disepakati bersama.

Bagaimana bisa kita tak memberi tempat khusus bagi kolektif-kolektif , asosiasi-asosiasi, serikat-serikat buruh, dan partai-partai tersebut di dalam negara: negara-bangsa--atau lebih baik disebut negara-supranasional (seperti negara Eropa yang sedang mengadakan perjalanan menuju negara dunia)--yang mampu secara efektif mengendalikan dan membebani pajak atas keuntungan yang didapatkan dari pasar finansial dan, lebih dari itu, melawan dampak yang merusak (di masa yang akan datang) terhadap pasar tenaga kerja. Upaya ini bisa dilakukan dengan bantuan dari serikat-serikat buruh, yakni dengan mengorganisir pekerjaan dan pembelaan atas kepentingan publik. Suka atau tidak, kepentingan publik tak akan muncul--sendainya pun resiko kesalahan matematis nya sedikit--dari pandangan para akuntan (di periode-periode awal orang akan menyebutnya “pelayan toko”) karena sistem kepercayan baru merupakan bentuk tertinggi prestasi manusia.


***


[1] Utopia of endless exploitation, The essence of neoliberalism, Le Monde Diplomatique, Desember, 1998; diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh Jeremy J. Shapiro.
[2] Profesor di College de France.
[3] Auguste Walras (1800-1866), ekonom Perancis, penulis De la nature de la richesse et de l’origine de la valeur (Tentang Sifat Kekayaan dan Asal-usul Nilai) (1848). Ia adalah salah seorang yang pertama mencoba menggunakan matematika dalam penelitian ekonomi.
[4] Erving Goffman. 1961. Asylum: Essays on the Social Situation of Mental Patients and Other Inmates. New York: Aldine de Gruyter.
[5] Lihat dua jurnal yang isinya difokuskan pada Nouvelles formes de domination dans le travail (bentuk-bentuk baru dominasi dalam kerja”), Actes de la recherche en sciences sociales, No. 114, September, 1996, dan No. 115, Desembe,r 1996, khususnya pengantar oleh Gabrielle Balazs dan Michel Pialoux, Crise du travail et crise du politique [krisis kerja dan krisis politik], No. 114: halaman 3-4.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA

"BEKU” SANG NAGA LAUT YANG PERKASA (Bagian 1)

PREMANISME POLITIK SEBAGAI KETIDAKDEWASAAN BERPOLITIK