KEJAHATAN DI BALIK GLOBALISASI NEOLIBERALISME (1)
Kepentingan Utama GLOBALISASI[1]
Oleh: Anup Shah
Perdagangan global mungkin akan menjadi dambaan sebagian
besar orang seandainya saja ia bisa memberikan kesempatan kepada semua bangsa
untuk makmur, membangun secara adil dan saling menguntungkan. Neoliberalisme
digembar-gemborkan sebagai mekanisme untuk mencapainya. Margaret Thatcher
membuat singkatan TINA--There Is No Alternative (tak ada alternatif lain).
Tapi, apakah yang dimaksud dengan neoliberalisme itu?
Liberalisme Politik versus Liberalisme Ekonomi
Perlu dicatat, bahwa terdapat perbedaan penting antara
politik liberal dengan ekonomi liberal. Kekaburan tersebut tak pernah
diklarifikasi oleh media massa mainstream (terkemuka)!
Politik liberal berbicara tentang kepedulian terhadap isu-isu
sosial dan upaya untuk memberikan saran-saran yang progresif dan fleksibel
dalam menanganinya, cara yang bertentangan dengan yang dilakukan oleh unsur
konservatif, atau sayap kanan.
Namun, liberalisme dalam terminilogi ilmu ekonomi berbicara
tentang kepedulian terhadap liberalisasi kapital. Politisi konservatif bisa
sangat mendukung ekonomi liberal; sebaliknya terhadap politik liberal.
Sebagaimana yang disimpulkan oleh Elizabeth Martinez dan
Arnoldo Garcia:
“’Liberalisme’ mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, bahkan agama. Di AS, liberalisasi politik telah menjadi strategi untuk menghindari konflik sosial. Yakni dengan menyuguhkan (liberalisme) pada si miskin dan kaum pekerja sebagai hal yang progresif ketimbang kaum konservatif atau Kaum Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda lagi. Politisi-politisi konservatif, yang mengatakan bahwa mereka membenci kata “liberal”¾dalam arti tipe politik¾tak memiliki keberatan apa pun dengan liberalisme ekonomi, temasuk neo-liberalisme.”[2]
“’Liberalisme’ mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, bahkan agama. Di AS, liberalisasi politik telah menjadi strategi untuk menghindari konflik sosial. Yakni dengan menyuguhkan (liberalisme) pada si miskin dan kaum pekerja sebagai hal yang progresif ketimbang kaum konservatif atau Kaum Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda lagi. Politisi-politisi konservatif, yang mengatakan bahwa mereka membenci kata “liberal”¾dalam arti tipe politik¾tak memiliki keberatan apa pun dengan liberalisme ekonomi, temasuk neo-liberalisme.”[2]
Sekilas tentang Sejarah Neoliberalisme
Sistem modern perdagangan bebas, perusahaan bebas dan ekonomi
yang berbasiskan-pasar, sebenarnya telah muncul sejak 200 tahun yang lalu,
sebagai satu mesin penggerak utama dalam pembangunan Revolusi Industri. Namun,
akarnya adalah merkantilisme yang terbentuk selama Abad Pertengahan dan Zaman
Kegelapan Eropa, beberapa ratus tahun sebelumnya! Dan juga memiliki akar serta
pararel dengan berbagai metode yang digunakan imperium sepanjang sejarahnya
(dan, saat ini, masih digunakan) untuk menguasai tempat-tempat yang lebih lemah
di sekitarnya serta untuk merampas kekayaannya. Sebenarnya, bisa saja diyakini
bahwa neoliberalisme (sekarang ini) tak lain merupakan merkantilisme yang
didandani oleh retorika yang lebih bersahabat, mengingat relitasnya tetap sama
dengan proses merkantilis yang telah berlangsung selama ratusan tahun yang
lalu.[3]
Pada tahun 1776, ekonom Inggris, Adam Smith, menerbitkan
bukunya, The Wealth of Nations. Adam Smith, yang dianggap beberapa orang
sebagai bapak kapitalisme pasar bebas (modern) dan bisa menulis buku yang
sangat berpengaruh, menganjurkan bahwa untuk mencapai efesiensi maksimum, semua
bentuk campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi sebaiknya ditanggalkan,
dan seharusnya tak ada pembatasan atau tarif dalam manufaktur serta perdagangan
satu bangsa agar bangsa tersebut bisa berkembang.
Itu lah yang membentuk landasan bagi kapitalis untuk bebas
berusaha (memiliki perusahaan bebas) dan, hingga Krisis Berat (Great
Depression) pada tahun 1930-an, pemikiran tersebut dijadikan teori ekonomi
utama yang berlaku di Amerika Serikat dan Inggris. Perlu dicatat, bahwa agar
kedua bangsa tersebut sukses mempertahankan pemikiran tersebut, mereka
membutuhkan alasan dan penyokong yang kuat, yakni imperialisme, kolonialisme,
dan penundukan bangsa lain, (yang mereka lakukan) agar mereka memiliki akses
kepada sumber daya yang bisa memproduksi kemakmuran yang sangat tinggi.
Namun, dalam waktu yang tak begitu lama, hingga sebelum
Perang Dunia II, telah kelihatan tanda-tanda melebarnya kesenjangan antara yang
kaya dan yang miskin.
Karena Krisis Berat pada tahun 1930-an tersebut, seorang
ekonom, John Maynard Keynes, menganjurkan bahwa regulasi dan campur tangan
pemerintah sebenarnya dibutuhkan untuk memberikan keadilan yang lebih besar
dalam pembangunan. Anjuran tersebut merupakan landasan bagi model pembangunan
Keynesian dan, setelah Perang Dunia II, dijadikan landasan model pembangunan
untuk membangun kembali sistem ekonomi internasional. Marshall Plan Eropa
membantu menata kembali ekonomi Eropa, dan bangsa-bangsa Eropa bisa memperoleh
manfaatnya, yakni sanggup menyediakan berbagai pelayanan sosial--seperti untuk
program-program kesehatan, pendidikan dan sebagainya--dan Roosevelt (dengan New
Deal nya) tentu saja sangat paham akan dampak-dampak positif nya.
Sebenarnya, lembaga-lembaga yang didirikan pada pertemuan di
Bretton Woods--seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary
Funds/IMF) dan Bank Dunia (Wolrd Bank/WB)--dirancang dengan berpijak pada
kebijakan pemikiran Keynesian; sebagai cara untuk membantu menyediakan regulasi
internasional dan pengawasan terhadap kapital. Sebagimana yang dikatakan Susan
George: “… ketika lembaga-lembaga tersebut didirikan di Bretton Woods pada
tahun 1944, mandatnya adalah mencegah konflik di masa depan dengan memberi
pinjaman bagi rekonstruksi dan pembangunan, serta untuk (sementara waktu)
mengatasi masalah-masalah dalam neraca pembayaran. Mereka tak memiliki mandat
untuk mengontrol orang-orang pemerintahan yang membuat keputusan-keputusan
ekonomi, termasuk tak memberikan izin untuk campur tangan dalam kebijakan
nasional.” Sangat lah berbeda dengan apa yang berlangsung saat ini!
Pada tahun 1945 hingga tahun 1950, jika anda bersikukuh
menawarkan berbagai gagasan dan kebijakan dengan standar perangkat neoliberal
(seperti saat ini), anda akan ditertawai (diolok-olok) atau dikirim ke rumah
sakit jiwa. Pada saat itu, paling tidak di negeri Barat, setiap orang adalah
Keynesian, sosial demokrat, sosial-Kristen demokrat, atau dipengaruhi ide-ide
Marxis. Gagasan bahwa pasar sebaiknya diizinkan membuat keputusan ekonomi dan
politik yang penting; bahwa negara seharusnya secara sukarela mengurangi
perannya dalam ekonomi; atau perusahaan-perusahaan sebaiknya diberikan
kebebasan total; serikat buruh sebaiknya dikekang; dan warga negara dikurangi
jaminan sosialnya—ide-ide semacam itu sama sekali asing dengan semangat pada
saat itu. Bahkan, bila pun seseorang sebenarnya setuju dengan gagasan-gagasan
tersebut, ia akan ragu mengambil posisi nya di hadapan publik karena akan kesulitan
untuk mencari pendegar.[4]
Namun, karena para elit dan perusahaan-perusahaan menganggap
bahwa dampak pemikiran yang berupaya menyetarakan masyarakat tersebut
(Keynesian) mengurangi keuntungan mereka, maka ekonomi liberal pun dihidupkan
kembali, dan muncul lah terminologi baru--“neoliberalisme”. Yang ujudnya tak
memiliki batas-batas nasional, atau diterapkan terhadap ekonomi internasional.
Berawal dari Universitas Chichago--dengan filsuf-ekonom nya, Friederich von
Hayek dan muridnya, Milton Friedman--ideologi neoliberalisme disebar ke seluruh
dunia dengan sangat baiknya.
Namun, bahkan sebelumnya, sudah terlihat tanda-tanda bahwa
tatanan ekonomi dunia akan menempuh cara tersebut: sebagian besar perang (di
sepanjang sejarah) pada intinya bertujuan menguasai ekonomi, perdagangan, dan
sumber daya. Keinginan memiliki akses terhadap sumber daya murah menyebabkan
kekuasaan imperium mengesyahkan aksi militer, tentu saja dengan kedok
“kepentingan nasional”, “keamanan nasional”, “campur tangan “kemanusiaan” dan
sebagainya. Sesungguhnya, sebagaimana diungkapkan J.W Smith, pola-pola (yang
serupa dengan) merkantilisme telah terlihat sepanjang sejarah:
“Kemakmuran negara-kota kuno (seperti Venesia dan Genoa)
landasannya adalah kekuatan angkatan laut mereka, dan pakta/perjanjian dengan
kekuatan besar lainnya untuk menguasai perdagangan. Hal itu diperluas juga pada
bangsa-bangsa lain agar bisa merancang kebijakan perdagangan mereka demi
mengeruk kekayaannya (merkantilisme). Adakalanya satu negeri yang kuat akan
menindas negeri lainnya (agar bisa merampas kekayaannya) dengan diawali perang
dagang, perang terselubung, atau perang fisik; namun, negeri yang lebih lemah,
yang terbelakang, biasanya akan kalah dalam perang tersebut. Karena kekuatan
militer nya, negeri-negeri yang lebih maju mampu mendiktekan aturan-aturan
dagang dan mempertahankan hubungan yang tidak adil/setara."[5]
Karena ekonomi Eropa dan Amerika bisa berkembang, mereka
kemudian membutuhkan perluasan yang lebih besar guna mempertahankan standar
hidup yang tinggi (bagi segelintir orang). Dengan demikian mereka harus
meluaskan teritori kolonialnya agar bisa memperoleh akses yang lebih besar pada
bahan mentah dan sumberdaya lainnya, termasuk buruh murah yang bisa
dieksploitasi. Negeri yang melawan sering menghadapi penindasan yang brutal
atau campur tangan militer.
Karena perdagangan harus mengabaikan batas-batas nasional,
dan manufaktur membutuhkan pasar dunia, maka bendera bangsa harus diseragamkan,
dan pintu bangsa (yang tertutup bagi negeri-negeri maju) harus didobrak.
Konsesi-konsesi yang diperoleh oleh pemodal harus diselamatkan oleh kementerian
negara bahkan, dalam proses tersebut, kedaulatan negeri-negeri lain akan
diobrak-abrik. Koloni harus diperoleh atau didirikan, tak ada sudut dunia yang
luput atau tak terpakai.[6]
Pernyataan Ricahards Robinson, Profesor Antropologi dan
pengarang Global Problems and the Culture of Capitalism, juga layak dikutip
lebih panjang: “Depresi Berat Dunia pada tahun 1873, yang
sebenarnya tetap berlangsung hingga pada tahun 1859, merupakan manisfestasi
besar (pertama) krisis bisnis kapitalis. Depresi itu sebenarnya bukan lah
krisis ekonomi yang pertama (karena beberapa kali, ribuan tahun sebelumnya,
juga pernah terjadi), tapi kehancuran keuangan pada tahun 1873 mengungkapkan
derajat integrasi ekonomi global--bagaimana kejadian ekonomi di salah satu
bagian dunia akan mempengaruhi negeri lainnya…”
Depresi pada tahun 1873 membuktikan adanya problem besar
lainnya yang menghambat upaya kapitalis untuk memperluas diri dan meningkatkan
pertumbuhannya secara terus menerus; pertumbuhan yang hanya bisa dilanjutkan
sepanjang bisa disediakan bahan-bahan mentah dan ada peningkatan permintaan
terhadap barang-barang nya, yang sejalan dengan cara-cara (kebutuhan) untuk
menginvestasikan keuntungan dan kapital. Dalam situasi tersebut, jika pada
tahun 1873 anda adalah seorang investor Amerika atau Eropa, ke mana anda akan
melakukan ekspansi ekonomi?
Jawabannya jelas: Eropa dan Amerika akan melakukan ekspansi
kekuasaannya menyeberangi lautan, khususnya ke daerah-daerah yang relatif masih
belum tersentuh kapitalis—Afrika, Asia, dan Pasifik. Kolonialisme, faktanya,
menjadi jalan keluar yang direstui demi memenuhi kebutuhan untuk meluaskan
pasar, meningkatkan kesempatan bagi para investor, dan menjamin pasokan bahan
mentah. Cecil Rhodes, salah seorang tokoh besar kolonisasi Afrika dari Inggris,
mengakui pentingnya ekspansi ke luar negeri justru untuk mempertahankan
perdamaian di dalam negeri. Pada tahun 1895 Rhodes berkata:
“Kemarin aku berada di Ujung Timur London, menghadiri sebuah
pertemuan para pengangguran. Aku mendegar pidato yang liar yang, ringkasannya,
hanya lah teriakan: “roti”, ”roti”. Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku
merenungkan kejadian tersebut, dan aku menjadi lebih yakin ketimbang sebelumnya
akan pentingya imperialisme... Ide cemerlang ku itu merupakan jalan keluar bagi
masalah sosial--yakni untuk menyelamatkan 40 juta penduduk Kerajaan Inggris
dari perang saudara berdarah--karenanya, kami, negarawan kolonial, membutuhkan
tanah baru untuk menempatkan kelebihan penduduk, untuk menyediakan pasar baru
bagi barang-barang yang kami produksi di pabrik-pabrik dan pertambangan kami.
Imperium, sebagaimana yang sering aku katakan, merupakan persoalan roti dan
mentega. Jika anda ingin menghindari perang saudara, maka anda harus menjadi
imperialis.
Hasil dari hasrat untuk melakukan ekspansi imperialis: rakyat seluruh dunia diubah menjadi produsen hasil panenan (untuk diekspor)--sebagaimana jutaan petani
Hasil dari hasrat untuk melakukan ekspansi imperialis: rakyat seluruh dunia diubah menjadi produsen hasil panenan (untuk diekspor)--sebagaimana jutaan petani
subsisten dipaksa menjadi buruh upahan yang memproduksi
barang-barang yang dibutuhkan pasar--dan mengharapkan para pedagang serta para
industrialis Eropa, Amerika, membelinya, ketimbang memasoknya untuk diri
sendiri, atau demi memenuhi kebutuhan pokoknya.”[7]
Esensinya, Perang Dunia I adalah perang untuk memperebutkan
sumber daya, atau pertempuran antar pusat-pusat imperium demi menguasai dunia.
Perang Dunia II adalah pertempuran lain semacamnya. Boleh jadi, menurut mereka,
perang-perang semacam itu bukan cara yang baik dan, karenanya, harus mencari
cara yang lebih kooperatif.
Tapi, kerjasama tersebut bukan lah terutama untuk semua kepentingan dunia, atau hanya demi kepentingan dirinya. Upaya keras Soviet untuk mengambil cara pembangunan yang independen--yang memiliki cacat karena karakter sentralistik nya, dan perspektif paranoid serta totaliter nya--merupakan ancaman bagi pusat-pusat kapital tersebut karena akan menyebabkan koloni mereka “mengambil gagasan yang salah”, dan juga mencoba jalan independen bagi pembangunan mereka.
Karena Perang Dunia II menyebabkan negeri-negeri imperialis semakin melemah, banyak negeri koloni mulai me-merdeka-kan diri. Di beberapa tempat terdapat negeri-negeri yang memiliki potensi untuk mengusung proses demokratik dan, bahkan, bisa memberikan contoh kepada negeri-negeri tetangganya untuk mengikutinya. Proses demokratik tersebut jelas akan mengurangi akses terhadap sumber daya murah, dan hal itu akan mengancam pengaruh, kekuasaan, dan kontrol perusahaan-perusahaan multinasional serta negeri-negeri imperium nya (mantan-mantan imperialis). Sering, kemudian, mereka memberikan sanksi berupa aksi militer. Untuk mencari dukungan di dalam negeri, mereka menyebarkanluaskan, menggembar-gemborkan, ketakutan akan komunisme, seandainya pun harus berbohong.
“…Untuk memberikan alasan bagi (intervensi atau aksi militer lainnya) anda harus berbohong sedemikian rupa agar tercipta kesan (yang salah) bahwa Uni Soviet lah yang sedang kalian perangi…"[8]
Tapi, kerjasama tersebut bukan lah terutama untuk semua kepentingan dunia, atau hanya demi kepentingan dirinya. Upaya keras Soviet untuk mengambil cara pembangunan yang independen--yang memiliki cacat karena karakter sentralistik nya, dan perspektif paranoid serta totaliter nya--merupakan ancaman bagi pusat-pusat kapital tersebut karena akan menyebabkan koloni mereka “mengambil gagasan yang salah”, dan juga mencoba jalan independen bagi pembangunan mereka.
Karena Perang Dunia II menyebabkan negeri-negeri imperialis semakin melemah, banyak negeri koloni mulai me-merdeka-kan diri. Di beberapa tempat terdapat negeri-negeri yang memiliki potensi untuk mengusung proses demokratik dan, bahkan, bisa memberikan contoh kepada negeri-negeri tetangganya untuk mengikutinya. Proses demokratik tersebut jelas akan mengurangi akses terhadap sumber daya murah, dan hal itu akan mengancam pengaruh, kekuasaan, dan kontrol perusahaan-perusahaan multinasional serta negeri-negeri imperium nya (mantan-mantan imperialis). Sering, kemudian, mereka memberikan sanksi berupa aksi militer. Untuk mencari dukungan di dalam negeri, mereka menyebarkanluaskan, menggembar-gemborkan, ketakutan akan komunisme, seandainya pun harus berbohong.
“…Untuk memberikan alasan bagi (intervensi atau aksi militer lainnya) anda harus berbohong sedemikian rupa agar tercipta kesan (yang salah) bahwa Uni Soviet lah yang sedang kalian perangi…"[8]
Tujuannya akhir nya adalah adalah memastikan semuanya ada di
jalur yang memudahkan suatu bentuk globalisasi yang bisa memuaskan perusahaan
besar dan kelas elit kekuatan-kekuatan (mantan) imperialis. (Jadi, tidak lah
mengherankan bila Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang, sebagaimana juga bangsa
Eropa lainnya bisa begitu makmur, sedangkan negeri-negeri bekas koloni masih
tetap miskin; boom ekonomi bangsa maju diongkosi oleh sebagian besar penduduk dunia). Sebagai hasilnya, globalisasi akan ditopang oleh
kekuatan militer (hingga sekarang masih demikian) untuk memastikan dan
mempertahankan keuntungannya.
Jadi, walaupun sepertinya kolonialisasi dan imperialisme berakhir bersamaan dengan usainya Perang Dunia II, namun upaya mati-matian untuk mengembangkan anjuran Adam Smith-perdagangan bebas dan pasar bebas--dan kebijakan-kebijakan merkantilis masih tetap berlangsung. (Sesungguhnya, dengan membaca tulisan Adam Smith, The Wealth of Nation, akan terungkap bahwa kenyataan sekarang ini sangat menyimpang jauh dari doktrin kapitalisme pasar bebas; atau masih tetap bisa dianggap sebagai kapitalisme monopoli; atau seolah zaman merkantilisme telah mencapai kematangannya. Kita akan membicarakannya kemudian). Dan, dengan demikian, sistim kepercayaan nya pun harus selaras dengan tujuan politiknya:
“Saat ketidakadilan imperialisme (merkantilis) sudah sedemikian mencolok dan begitu memalukannya, maka dipasok lah sistim kepercayaan bahwa merkantilisme sudah ditanggalkan, kini perdagangan bebas lah yang menggantikannya. Dalam kenyataan nya, perampasan kekayaan masih dilakukan, ditutup rapat-rapat oleh sistem monopoli yang kompleks, dan perdagangan yang tak adil/setara disembunyikan di balik tabir pasar bebas. Berbagai alasan diberikan bila ada perang antar bangsa-bangsa imperium yang sedang memperebutkan tujuan yang sama: ‘Siapa yang akan menguasai sumber daya, perdagangan, dan kemakmuran, yang dihasilkan melalui ketidakadilan dalam perdagangan?’ Semua itu dibuktikan oleh adanya ketimpangan dalam perdagangan, yang mengalirkan kekayaan dunia ke pusat-pusat kapital imperium yang ada saat ini, tak beda dengan perampasan tersembunyi (melalui perdagangan) yang mereka lakukan berabad-abad yang lalu. Pertempuran memperebutkan kekayaan dunia hanya lah sedang disembunyikan di balik berbagai sistim kepercayaan, apalagi bila rahasia kebohongan nya (perampasan kekayaan negeri-negeri lain) terbongkar.”[9]
Khususnya pada era Reagan dan Thatcher, neoliberalisme
didesakkan ke sebagian besar belahan dunia, menghancurkan apa saja yang
berkaitan dengan kepentingan publik, dan menswastakan apa saja yang dimiliki
oleh publik, menggunakan campur tangan militer jika dibutuhkan. Kebijakan
Penyesuaian Struktural digunakan untuk membuka ekonomi negeri-negeri miskin
sehingga bisnis-bisnis besar dari negeri-negeri maju bisa memiliki dan
mengakses berbagai sumber daya dengan murah. Jadi, dimulai dari sekte kecil dan
tak populer yang, sebenarnya, tak memiliki pengaruh, neoliberalisme kemudian
menjadi agama utama dunia dengan doktrin-doktrin dogmatik nya, dengan para pendeta
nya, dengan lembaga-lembaga yang menghasilkan hukum-hukum nya dan, yang mungkin
paling penting dari semuanya, neraka nya, bagi mereka yang murtad dan para
pendosa yang menentang kebenarannya. Oskar Lafontaine, mantan Menteri Keuangan
Jerman, yang oleh Financial Times dijuluki sebagai “Keynesian tak tergoyahkan”,
baru saja dikirim ke neraka tersebut karena ia berani mengajukan pajak
perusahaan yang lebih tinggi dan memangkas pajak orang-orang biasa dan keluarga
yang kurang mampu.
Tahun 1979, tahun Margaret Thatcher menduduki jabatannya dan menerapkan revolusi neo-liberal di Inggris. Wanita Besi ini mendidik dirinya sebagai murid Friederich von Hayek, ia seorang sosial Darwinis dan tak memiliki rasa cemas dalam mengungkapkan keyakinan-keyakinan nya. Dia begitu terkenal karena mengabsyahkan program nya dengan sebutan satu kata, TINA, singkatan dari There is No Alternative. Nilai pokok doktrin Thatcher dan neo-liberalisme itu sendiri adalah gagasan persaingan--persaingan antar bangsa, antar wilayah, antar perusahaan, dan tentu saja antar individu. Kompetisi menjadi sentral nya karena ia bisa memisahkan domba dari kambing, orang dewasa dari anak-anak, yang layak dari yang tak layak. Hal itu dimaksudkan untuk mengalokasikan (dengan kemungkinan efesiensi yang paling besar) seluruh sumber daya, apakah sumber daya fisik, sumber daya alam, sumber daya manusia, atau sumber daya keuangan.
Tahun 1979, tahun Margaret Thatcher menduduki jabatannya dan menerapkan revolusi neo-liberal di Inggris. Wanita Besi ini mendidik dirinya sebagai murid Friederich von Hayek, ia seorang sosial Darwinis dan tak memiliki rasa cemas dalam mengungkapkan keyakinan-keyakinan nya. Dia begitu terkenal karena mengabsyahkan program nya dengan sebutan satu kata, TINA, singkatan dari There is No Alternative. Nilai pokok doktrin Thatcher dan neo-liberalisme itu sendiri adalah gagasan persaingan--persaingan antar bangsa, antar wilayah, antar perusahaan, dan tentu saja antar individu. Kompetisi menjadi sentral nya karena ia bisa memisahkan domba dari kambing, orang dewasa dari anak-anak, yang layak dari yang tak layak. Hal itu dimaksudkan untuk mengalokasikan (dengan kemungkinan efesiensi yang paling besar) seluruh sumber daya, apakah sumber daya fisik, sumber daya alam, sumber daya manusia, atau sumber daya keuangan.
Berbeda tajam dengan filsuf besar China Lao Tzu, yang
menuntaskan filsafat Tao-te Ching nya dengan kata-kata: ”Di atas segalanya,
jangan bersaing”. Satu-satunya aktor dalam dunia neo-liberal yang nampaknya
paling percaya pada anjuran nya adalah aktor paling
besar--perusahaan-perusahaan Transnasional. Prinsip kompetisi jarang diterapkan
di antara sesama mereka; mereka lebih senang mempraktekkan apa yang kita sebut
dengan Aliansi Kapitalis.[10]
Karena Perang Dingin telah “berakhir”, tak mengherankan bila
globalisasi bentuknya seperti yang kita lihat sekarang ini--arah yang tak akan
dituju “oleh perjalanan” Perang Dingin. Perang Dunia berkaitan dengan upaya
melebarkan jalan-rimbun perdagangan dan yang menguntungkannya. Sepanjang Perang
Dingin kita mengisi dunia dengan ancaman terhadap demokrasi pasar: sekarang
sebaiknya kita mengupayakan perluasan pencapaian nya.[11]
Saat ini kebijakan neoliberal dipahami secara negatif dan
positif. Perusahaan yang diberikan kebebasan telah menghasilkan banyak inovasi
produk. Pertumbuhan dan pembangunan (bagi segelintir orang) telah melimpah
ruah. Namun, bagi sebagian besar orang, malah meningkatkan kemiskinannya, dan
inovasi serta pertumbuhannya tidak lah dirancang untuk memenuhi kebutuhan
sebagian besar rakyat dunia.
Tak seorang pun bisa memisahkan ilmu ekonomi, ilmu politik,
dan sejarah. Politik lah yang mengontrol ekonomi. Sejarah, bila akurat dan
sepenuhnya didokumentasikan, bisa menceritakannya. Dalam sebagian besar
buku-buku teks dan pengajaran, tak hanya ketiga bidang studi itu saja yang
dipisah-pisah tapi, lebih jauh lagi, masing-masing nya juga dikotak-kotakan
menjadi sub bidang studi sehingga mengaburkan kaitan-kaitan (ketat) nya.[12]
Jadi, Neoliberalisme adalah…
Neoliberalisme, bila dikatakan secara retorik, esensi nya
adalah bagaimana mengusahakan agar perdagangan antar bangsa menjadi lebih
mudah. Maksudnya, mengusahakan agar barang-barang, sumber daya dan
perusahaan-perusahaan lebih bebas bergerak, dalam upaya untuk mendapatkan
sumber daya yang lebih murah, untuk memaksimalkan keuntungan dan efisiensi.
Agar tujuan tersebut bisa dipenuhi maka berbagai kontrol
harus disingkirkan. Atau satu-satu nya jalan untuk memaksimalkan itu semua
adalah dengan menanggalkan berbagai kontrol; menghapuskan hal-hal yang dianggap
membatasi perdagangan bebas, seperti :Tarif.Peraturan-peraturan.Standar-standar
tertentu, legislasi, dan ukuran-ukuran yang diregulasi.Pembatasan-pembatasan
terhadap aliran kapital dan investasi.
Tujuan nya agar mampu melepaskan pasar bebas mencari
keseimbangan nya sendiri secara alamiah melalui tekanan permintaan-permintaan
pasar, kunci bagi keberhasilan ekonomi yang berbasiskan-pasar.
Bila artikel What is "Neo-Liberalism? , A Brief
Definition for Activists" (apa itu neo-liberalisme?, garis besar definisi
bagi aktivis), yang ditulis Elizabeth Martinez dan Arnoldo Gracia, dari
Corporate Watch, diringkas, maka poin-poin utama neoliberalisme mencakup:Hukum
pasar--kebebasan bagi kapital, barang dan jasa, sehingga pasar bisa mengatur
dirinya sendiri agar gagasan “tetesan ke bawah” dapat mendistribusikan
kekayaan. Juga mencakup upaya agar tenaga kerja tak diwakili oleh serikat
buruh, dan menyingkirkan semua hambatan yang menghalangi mobilitas kapital,
seperti peraturan-peraturan. Kebebasan tersebut harus diberikan oleh negara
atau pemerintah.Mengurangi pembelanjaan publik bagi pelayanan-pelayanan sosial,
seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan yang disediakan oleh
pemerintah.Deregulasi, agar kekuatan pasar bisa bekerja menurut mekanisme
aturannya sendiri.Swastanisasi perusahaan-perusahaan milik publik (seperti
perusahaan yang mengelola kebutuhan air, bahkan perusahaan internet).Mengubah
persepsi baik tentang publik dan komunitas menjadi individualisme dan tanggung
jawab individual.
Sama hal nya juga dengan Richard Robinson, dalam bukunya
Global Problems and the Culture of Capitalism (Allyn Bacon, 1999), yang
meringkas (pada halaman 100) prinsip-prinsip utama di balik ideologi
neoliberalisme ini:Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebagai cara untuk
memajukan manusia.Pasar bebas tanpa “campur tangan” pemerintah adalah yang
paling ampuh dan secara sosial bisa mengoptimalkan alokasi sumber
daya.Globalisasi ekonomi akan menguntungkan semua orang.Swastanisasi akan menghilangkan
pemborosan dalam sektor publik.Fungsi utama pemerintah seharusnya adalah
menyediakan infrastruktur untuk memajukan kepatuhan akan hukum, yang berkaitan
denga hak-hak pemilikan dan kontrak.
Selanjutnya, pada tataran internasional, bisa kita mengerti tambahan-tambahan nya, yakni diterjemahkan dalam bentuk: Kemerdekaan dalam perdagangan barang dan jasa.Sirkulasi kapital yang lebih bebas.Kemampuan bergerak (investasi) harus lebih dibebaskan.
Selanjutnya, pada tataran internasional, bisa kita mengerti tambahan-tambahan nya, yakni diterjemahkan dalam bentuk: Kemerdekaan dalam perdagangan barang dan jasa.Sirkulasi kapital yang lebih bebas.Kemampuan bergerak (investasi) harus lebih dibebaskan.
Asumsi yang digaris-bawahi selanjutnya adalah bahwa pasar
bebas merupakan sesuatu yang baik. Bisa saja demikian tapi, sayangnya, jika
kita bedakan antara realitas dengan retorika, apakah benar pasar itu sedemikian
bebas nya, dan tak dipengaruhi oleh yang berkuasa, atau dimanipulasi demi
kepentingan mereka. Walau bagi beberapa ekonom, ideologi dianggap, bahkan,
seperti teologi--dalam pengertian bahwa cara perkembangan nya alamiah--tapi
realitas juga merupakan faktor yang bisa menjelaskan permainan kekuasaan yang
mempengaruhi “kebebasan” dalam perdagangan bebas. Dilihat dari perspektif
kekuasaan, pasar “bebas” dalam kenyataan nya--sebagaimana yang dipahami banyak
orang di seluruh dunia--merupakan kelanjutan kebijakan lama--yakni
perampasan--apakah itu disengaja atau tidak. Tapi kita tak pernah mendengar ada
diskusi semacam itu dalam media mainstream (terkemuka).
***
[2]
Elizabeth Martinez dan arnoldo Garcia, What is
“Neoliberalism”?, National Network for Immigrant and Refugees Rights, 1
Januari, 1997.
[3]
Lihat World’s Wasted Wealth II, Bagian 2, dan
Economic Democracy, keduanya ditulis oleh J.W Smith, Institute for Economic
Democracy.
[4]
Susan George, A Short History of Neoliberalism:
Twenty Years of Elite Economics and Emerging Oppurnuties for Structural Chage,
Conference On Economic Sovereignity in a Globalising World, Bangkok, 24-26
Maret, 1999.
[6]
Woodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat, 1919,
sebagimana dikutip oleh Noam Chomsky, On Power and Ideology, South End Press,
1990, halaman 14.
[7]
Richard H Robbins, Global Problems and the
Culture of Capitalism , Allyn and Bacon, halaman 93-94.
[8]
Profesor Samuel Hutington, Universitas Havard,
dikutip oleh Noam Chaomsky dalam Latin America: From Colonization to Globalization,
Ocean Press, 1999, halaman 8.
[9]
J W Smith, Economic Democracy: The Political
Strunggle for 21st Century, M E Sharpe, 2000, halaman 12.
[10]
Susan George, A Short History of Neoliberalism:
Twenty Years of Elite Economics and Emerging Oppurtunities for Structural
Change, Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Bangkok, 22
Maret, 1999.
[11]
Anthoni Lake, National Security Adviser, 1990,
dikutip dari Noam Chomsky, World Orders Old and New, Columbia Press, 1996,
halaman 71.
Komentar