MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA
Oleh: Marselinus
B. Lewerang
Rasional
Tak ada pulau
yang terbentuk sekaligus dengan orang-orang yang menempatinya. Dengan demikian
penduduk pertama di sebuah pulau adalah imigran dari luar pulau, baik yang
datang orang per orang maupun berkelompok. Karena setiap pulau berbatasan langsung dengan laut maka di tempo
dulu media yang membawa seseorang sampai ke sebuah pulau adalah air dalam hal ini arus laut, rakit atau
perahu.
Penduduk asli
Lembata, termasuk suku yang mendiami kampung Atakowa juga berasal dari luar
pulau. Sebagaimana tuturan lisan yang ditulis kembali Alm. Drs. S.T. Atawolo,
disajikan pada seminar budaya Nobo Buto
Leragere, 1996. Penduduk asli pulau Lembata datang melalui arus pengungsian
besar-besaran dari pulau Nuha ata. Menurut
Alm. Ambros Ole Ona,1989. Nuha ata adalah sebutan lain dari
Lepan Batan.
Tuturan lisan alm. Bp
Philipus Polo Lewerang, orang-orang asli Atakowa datang dari arah Bobu. Sebuah daerah sekitar tanjung Suba
Wutun, pesisir selatan Lembata. Konon
katanya nenek moyang orang atakowa ini datang dengan sebuah perahu dari pulau lepan bahtan ruha rema. Mereka datang
dengan membawa serta peralatan perang seperti blida (parang panjang dari baja) dan gala (tombak baja),
alat-alat pertanian seperti batu asa dan parang, benda-benda ritual seperti gong dan bohpong (batu bulat yang dipercaya
memiliki kekuatan magis).
Mengetahui asal usul
penduduk merupakan begian penting dalam
upaya menggali kebudayaan asli kampung
Atakowa. Melalui ini dapat dipahami tentang apa yang menjadi inti kepercayaan,
adat isti adat serta sistem pelapisan sosialnya. Memang tidak banyak dokumen
tertulis yang mengisahkan tentang kampung ini tetapi dari tuturan lisan dan catatan-catatan lepas
terkait kebudayaan lamaholot dapat diidentifikasi kesinambungan antara kejadian lampau termasuk situs-situs
kebudayaan yang di tinggalkan dengan peradapan sekarang. Atakowa adalah kampung
kecil dalam satuan budaya nobo buto
dengan sistem adat yang sangat kuat
pengaruhnya terhadap hampir semua sisi kehidupan warga kampung. Dari tuturan
lisan dan beberapa situs peninggalan seperti kotak batu di kampung Lewoeleng, sisa-sisa peninggalan di kampung
lama Lewu
tuang dan makna tersirat
dalam penggalan syair: kowa liku ledo,
ledo todo hinga (Atakowa melindungi Ledoblolong, membuat ledoblolong
menetap) diketahui bahwa Atakowa adalah kampung tua dan pertama di Leragere.
Antara Orang Awan dan Kampung Berkabut
Unsur bawahan
terdekat dari kata “Atakowa” adalah ata dan kowa. Keduanya merupakan kata benda.
Dalam bahasa lamaholot ata artinya orang, sedangkan kowa artinya awan. Dari struktur morfologinya ini nama atakowa
dapat dijelaskan sebagai kampung yang di huni oleh orang-orang yang
bersal dari awan. Menjadi pertanyaan,
mungkinkah manusia itu berasal dari awan ?
Secara
geneologis penduduk asli atakowa merupakan pecahan kelompok pengungsi yang datang
dari pulau Nuha Ata. Sebagaimana catatan lepas Almahrum Ambros
Oleona (1989), Nuha ata adalah sebutan lain
dari Lepan Batan. sebuah daratan luas
antara pulau Alor dan Lembata. Daerah tersebut diperkirakan tenggelam karena
bencana hebat gelombang pasang. Dampak dari mencairnya es kutub pada waktu itu.
Peristiwa tenggelamnya daratan inilah yang menyebabkan terjadinya
pengungsian besar-besaran. Orang-orang Nuha Ata, sendiri-sendiri atau berkelompok pergi
meninggalkan kampung halaman, mencari tempat hunian baru (bang pong, leka duli). Dari tuturan
ini jelas bahwa penduduk asli Atakowa bukan berasal dari awan. Lalu mengapa
kampung ini dinamakan Atakowa ?
Atakowa adalah
salah satu dari delapan kampung hunian di wilayah Leragere. letaknya di atas ketinggian 500 meter, tepat
di puncak bukit dengan lereng yang
panjang dan landai. Posisi topografi ini sangat berpeluang untuk terbentuknya
kabut lereng (up slope fog). Jenis
kabut seperti ini tidak temporer, biasanya
tetap dan muncul dalam periodisasi waktu tidak berubah. Kabut lereng merupakan
ciri khas kampung Atakowa. Entah musim hujan atau kemarau kampung di puncak
bukit ini senantiasa diselimuti kabut tebal.
Atakowa memang
kampung berkabut. Hampir 16 jam setiap
hari seluruh areal kampungnya tertutup
kabut. Kisaran waktunya antara pukul 16.00 (soreh hari) sampai pukul 07.00
(pagi hari). Pada jam-jam tersebut kampung yang letaknya paling tinggi
dibanding kampung-kampung lain di leragere ini sulit terpantau sistem navigasi.
Sepanjang kabut masih menyelubungi
kampung sosok orang tidak terlihat jelas. Orang-orang yang berjalan keluar meninggalkan kampung terlihat seolah-olah
muncul dari dalam gumpalan awan. Gejala ini merupakan akar asal muasal penamaan
kampung Atakowa. Orang yang berjalan
menerobos keluar kabut tebal
dianggab baru keluar dari gumpalan awan.
Ina Kepakiri Ama Wuanbala
Dituturkan turun temurun bahwa ketika perahu
tumpangannya rusak parah dan pelayaran tidak bisa dilanjutkan lagi rombongan
pengungsi Nuha ata terpecah menjadi tiga kelompok kecil. Konon katanya tempat
kejadian tersebut diperkirakan sekitar
tanjung suba wutun. Peristiwa ini punya hubungan tuturan dengan
terbentuknya tepi). Kelompok pertama
dan barang bawaan berupa layar dari daun gebang, alat pendayung dan wuwo (alat penangkap ikan) meneruskan
perjalanan menyusur sepanjang pantai ke arah Barat. kelompok kedua menaiki lereng sekitar teluk
waiteba dan liang kape. Kelompok ketiga memilih arah melalui kali sebelah Selatan tepi. Sebagaimana tuturan,
barang bawaan kelompok kedua dan ketiga itu sama, yakni berupa alat tenun (ebo, hapi dan huri), batu asa (elu), blida (semacam parang panjang yang digunakan untuk berperang) dan
tombak.
Nenek moyang
orang Atakowa termasuk kelompok ketiga. Jejak perjalanannya di mulai dari muara,
bergerak maju mengikuti arah datangnya aliran air. Tentang pilihan jalan
susuran ini terungkap melalui penggalan syair :
Lau
dai lungu dai
Wae
uro mitong tena tahpo balang
Geri
gawa tale dori lungu hipong
Moi
wae ni mo leko moi wahto ni mo seda
Artinya :
Dari laut dari
ujung kali; muara luas perahu pelepah kelapa; naik berpandu tali susuri kali
sempit; hindari genangan air, injak di atas batu.
Mencermati
kondisi geo fisik sekarang, muara yang dimaksud sebagai titik awal perjalan adalah daerah genangan air
payau yang berhubungan lansung dengan lungu muda. Sebuah sungai kecil yang terbentuk
dari penyatuan antara ruas kali belu buto
dan mawe. Pilihan perjalanan selanjutnya adalah menyusur belu buto hingga berakhir di mata air lewu reu, tepatnya sekitar ruas kali
mati kepakiri.
Rupanya di
kali mati kepakiri rombongan menghadapi jalan buntu. Ada lereng terjal yang sulit didaki. Tetua rombongan lalu meminta
untuk di buatkan sebilah tombak dari batang bambu (rehpang). Tombak itu lalu dilemparkan ke arah mata air Lewu reu. Sebagaimana tuturan, tombak yang
dilempar tetua tersebut menembus liang
mata air, terus merambah dalam tanah sepanjang punggung bukit hingga terpelesat
keluar di pucak bukit. Rombongan dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan
mengikuti alur tombak.
Lubang keluar tombak bambu diperkirakan sekitar pelataran hutan larang Nara uha. Sekarang bekas lubang itu ditutup
dengan timbunan batu. Orang atakowa percaya bahwa jika tumpukan batu tersebut dibuka bisa
terjadi bencana hebat air bah. Dari dalam liang menyemprot keluar air laut bersama
sosok-sosok manusia baru dengan macam-macam karakter.
Tentang
peristiwa tombak bambu ini terungkap melalui penggalan syair :
Ina
kepakiri ama wuanbala
Gu
rehpa pou pele gu gala lebo lele
Lewu
tuang sa’rang ulung
Bre
bao larang wulan lodo hodi hea
Artinya :
Ibu kepakiri
bapa wuanbala; tombak bambu tombak tembagaku pasti tembus pasti melintas;
kampung tua hunian lama; turun dan tangkap dari atas beringin putih. Syair ini
lebih sering dipakai sebagai mantra
adat. Rangkaian kata di setiap lariknya memiliki makna bersayap sehingga agak
sulit ditafsir.
Dari penggalan
syair “Ina kepakiri ama wuanbala” dapat
diidentifikasi bahwa ada tokoh
yang berperan sebagai induk semang dan
leluhur orang Atakowa. Penggalan ini merupakan sebutan untuk nama sepasang
suami istri. Kedua sosok inilah yang
menurunkan suku-suku asli Atakowa. Ina
Kepakiri adalah ibu yang agung, yang
melahirkan sosok manusia baru. Ama
Wuanbala adalah bapak yang mengayomi, yang menjadikan sosok manusia baru itu
bermartabat.
Sebagaimana
keterangan lisan dari tetua suku Ole pu’e, Alm. Bp Paulus Lewo, Orang Atakowa
mempunyai tokoh kebagaan yang menjadi simbol dan nama besar kampung, yaitu Ina kepakiri dan Ama Wuanbala. Semua bentuk ritual adat selalu di tujukan
kepada kedua Tokoh ini. Diyakini bahwa kedua leluhur ini memiliki peran sebagai
perantara dalam hubungan vertikal antara manusia di bumi dengan Ama Lera wulan Tana Ekan.
Ditilik dari struktur
kekuasaan dan budaya animisme kedudukan Ina Kepakiri dan Ama Wuanbala langsung di bawah Lera
wulan tana ekan. Benediktus Kada
Koten, 1979. Dalam studi tentang Tumbuhnya Kepercayaan Asli Masyarakat
Lewolema, mendeskripsikan Lera wulan tana
ekan sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi, sang pencipta yang menjadikan langit dan bumi.
Wujud Ina Kepakiri Ama Wuanbala dalam
sistem ritual adat kampung Atakowa disimbolkan dengan lempengan batu/batu ceper dan tugu batu. Batu
ceper = simbol tokoh perempuan sedangkan tugu batu = simbol tokoh laki-laki.
Kedua simbol ini biasanya dipasang berdampingan di depan bagunan
O’e (rumah kecil diatas empat tiang
yang digunakan untuk menyimpan benda-benda ritual seperti elu = batu asa; bohpong =
batu bulat yang dipercaya memiliki kekuatan magis dan gong keramat).
Situs-situs ritual ini sekarang tidak ditemukan lagi karena telah dimusnahkan
bersamaan dengan masuk ajaran agama Katolik ke wilayah Leragere.
Dalam tradisi adat
lamaholot situs ritual berbentuk lempengan atau tugu batu disebut nuba nara. Sebagaimana deskripsi
Benediktus Kada Koten, nuba nara merupakan simbol yang mengambarkan sosok
leluhur sekaligus menunjukan wujud yang maha kuasa, yang membuat segala sesuatu
ada.
Blowe, O’e, dan Bas’a
Dengan
menjejaki alur tombak bambu akhirnya rombongan pengungsi, nenek moyang orang
Atakowa tiba dengan selamat di pelataran Nara
Uha. Daerah ini berbatasan langsung dengan sisi Timur kampung Atakowa
sekarang. Geo fisik wilayahnya termasuk hamparan datar antara dua puncak bukit
kecil (owa lewung dan owa tobo). Luasnya
kurang lebih 1,5 Ha. Hamparan nara uha didominasi
oleh beberapa jenis pohon khas hutan tropis dan tidak ada lapisan hijau penutup
permukaan tanah. Ketinggian tajuk hutannya diperkirakan antara 15 – 25 meter.
Secara ekologi
formasi hutan nara uha merupakan
kantong perangkap hujan. Letak topografi
dan struktur hutannya menyebabkan daerah ini menjadi pusat kondensai uap air. Sejak dulu hingga sekarang orang-orang
atakowa percaya bahwa nara uha adalah
sumber air hujan yeng memberikan kehidupan kepada aho manu bine lame (suku, kerabat dan seluruh peliharaan) kampung
Atakowa. Hutan nara uha dianggab keramat, oleh karena itu harus dilindungi
turun temurun. Kekayaan hutan seperti kayu, batu dan berbagai jenis hewan di
dalamnya tidak boleh diambil atau dipindah tempatkan baik sengaja maupun tidak disengaja. Diyakini
bahwa hutan larang ini memiliki kekuatan mistik yang bisa melindungi kampung dari bala bencana.
Sebagaimana
tuturan dari tetua suku Lape, alm. bp. Thomas Lusi, orang-orang tempo dulu
punya kebiasaan untuk berperang dan merebut tanah kekuasaan, oleh karena itu
maka pilihan tempat untuk membangun kampung harus benar-benar terlindung dan
sulit dijangkau musuh. Pertimbangan inilah yang mendorong nenek moyang orang Atakowa memilih puncak
bukit Bawa lire sebagai tempat
tinggal. Letaknya di sebelah Barat kampung Atakowa sekarang. Karena jumlah
warga suku kian hari bertambah banyak sementara luas puncak bukit Bawalire tidak seberapa maka kampung
lalu di pindahkan ke lereng sebelah selatan bukit Atakowa. Daerah ini sekarang
dikenal dengan sebutan Lewu tuang
(kampung tua).
Religiositas
dalam tata peradapan nenek moyang orang Atakowa sangat kuat. Hampir seluruh
aktivitas hidupnya selalu dikaitkan dengan aspek religi. Hal ini terbukti
melalui adanya bangunan dan tempat-tempat
yang dijadikan sebagai pusat ritual kampung. Pusat ritual kampung
tersebut letaknya di luar kampung, berhubungan langsung dengan hutan larang nara uha. Jumlah titiknya Ada tiga, masing-masing disebut : Blowe, o’e, dan bas’a. Sketsa tata letak dari masing-masing
titik seperti di bawah ini.
Dengan
memandang nara uha sebagai
benteng pelindung kampung maka blowe merupakan pintu masuknya. Dalam
bahasa setempat biasa juga disebut lara
wuhtu (ujung jalan). Blowe
ditandai dengan sebuah tiang kayu dan meja batu sebagai tempat sesajian.
Ritual yang biasa dilakukan di blowe, antara lain : hapa
huang (bertanya; menyelidiki) dan lo
tiwa ohka tuhte (tolak buang, kejar sampai menghilang).
Ritual Hapa
huang dilakukan pada saat menyambut tetamu kampung, baik kelihatan (nyata)
maupun tidak kelihatan (roh). Tujuannya untuk menanyakan asal usul serta maksud
kedatangan. Bila asal usul dan maksud
kedatangannya baik maka tamu akan
disambut dengan suka cita. Sebaliknya bila bermaksud kurang baik maka ia dipersilahkan
dengan hormat untuk kembali ke tempat asalnya.
Bahan
kelengkapan yang sering digunakan dalam ritual hapa huang antara lain: buah siri, buah pinang, pucuk lontar kering
, daun tembakau kering, tuak
(minuman nira lontar, kelapa atau enau yang mengandung sedikit
alkohol) dan braha (gumpalan kecil
kapas putih).
Sebagaimana
penjelasan lisan alm. Bp. Paulus Lewo, Upacara Hapa huang harus dihalui dengan pengucapan syair/mantera sapaan
seperti berikut ini :
Mo
tuang ubung eting mo rasa sina lau
Bopihtang
mahtang dola lolo
Tede
ni ame denge gahing ni ame hodi
Lewu
ami owa tobo lelang ami bao lolong
Artinya :
Engkau tuan dari Timur, raja dari Barat; di pintu gerbang palang utama; katakan
kami dengar gagaskan kami terima; kampung kami owa tobo tanah kami bao lolong.
Setelah pengucapan
matera sapaan para tamu dibesihkan dari pengaruh jahat, halangan atau rintangan
yang tidak diketahui penyebabnya dengan bhraha. Upacara pembersihan ini disebut lew’a. Jumlah braha yang digunakan tujuh buah. Jumlah ini disesuaikan dengan sasaran masing-masing
: 1) ina ama (roh leluhur); 2) nihto woo (roh yang lepas dari raga dan tak dikenal); 3) praing pedateng (arwa orang mati); 4) nihtung nebing (jin penghuni tanah air
dan batu); 5) duli paling (jin penghuni
pohon-pohon dan hutan); 6) wera belong
(roh pembawa bencana berat); 7) wera kana
(roh pembawa bencana ringan). Ketentuan jumlah ini berlaku untuk semua upacara
tolak bala.
Siri, pinang,
tembakau dan tuak baru boleh disuguhkan setelah
upaca lew’a. Biasanya upacara hapa huang diakhiri dengan penyambutan tamu dengan
tari-tarian meriah (Soga tehte).
Upacara di blowe lainnya adalah lo tiwa ohka tuhte. Dilakukan
dengan tujuan untuk meminta pergi atau mengusir roh jahat yang mengganggu orang
per orang atau seluruh kampung. Proses ritual biasanya disertai dengan
pengucapan syair/mantra tertentu dengan
bahan-bahan sesaji antara lain : braha, beras merah, telur ayam dan anak ayam.
Berikut ini
adalah salah satu penggalan syair/mantra dalam ritual lo tiwa ohka tuhte
Mo
mala maa pinang, ulu pero
Mo
mala nihtung nebing, duli paling
Oka,
molang, nihto woo, praing pdateng
Huba
wera belong, wera kana, nu pahti bingi
Bo
pihtang mahtang dola lolo, ebang puse la’wang pue
Pong
mai be mu uli alang lewu mara
Ome
kowa lama bothtung bao lolong bangan
Ami
ina kepa kiri ama wuanbala
Ami
limang laeng laeng, eting rega-rega
Artinya :
Engkau serupa swanggi, seten pembunuh; Engkau serupa jin penghuni tanah, air
dan batu, penghuni pohon-pohon dan hutan; tukang santet, dukun jahat, roh
penasaran dan arwa orang mati; Di pintu gerbang palang utama, di atap
rumah alas dinding; Ayo pergi, pulang ke
tempat asalmu; kami orang kowa lama bohtung bao lolong bangan; tangan kami
bersih, kepala tak punya beban.
Titik ritual kedua adalah o’e. Kekhasan di titik ini berupa
adanya bangunan rumah kecil di atas
empat tiang kayu yang disebut O’e. Sketsanya
seperti di bawah ini :
Fungsi O’e
antara lain : 1) Tempat menyimpan
benda-benda pusaka seperti gong
pemanggil hujan dan bohpong; 2)
Tempat para pemangku adat menjalani tapa brata. Dalam bahasa setempat disebut bua (memencilkan diri, tidak makan dan
tidak minum selama 1 – 3 hari).
Ritual yang
biasa dilakukan di O’e adalah leta urang ahpung (memohon turun hujan), geu lia mura mabo (semacam sumpah adat
dengan taruhan nyawa), dan ohka
tuhte biwang serang (Semacam ritual pernyataan perang). Dari ketiga ritual ini yang paling polpuler dan dilaksanakan
hampir setiap tahun adalah leta urang
ahpung. Prosesi ritualnya dilakukan sebagai tahap awal dalam persiapan
tanam menanam.
Titik ritual
kampung yang ketiga adalah Bas’a.
Sesuai dengan namanya bas,a merupakan
sebuah bale-bale besar yang diberi atap. Fungsinya sebagai tempat berkumpul
para lelaki kampung untuk merencanakan sesuatu kegiatan besar yang melibatkan
seluruh warga. Dalam kondisi darurat perang bas’a
juga digunakan sebagai tempat tidur angkatan perang sebelum pergi dan setelah kembali dari medan
perang. Sketsa bangunan bas’a seperti
di bawah ini :
Karena
fungsinya sebagai tempat berkumpul maka bas’a
sebuah lapangan terbuka yang disebut namang.
Arel terbuka namang tempat
diselenggarakan hayatan kampung dan bersukaria yang diekspresikan dengan tarian
masal beku, kewahela dan oha.
Ritual kampung
yang biasa dilakukan di Bas’a adalah muhpu hani ame rago. Ritual ini
dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan seuruh warga kampung diikuti dengan
pendataan masing-masing anggota klan.
Komentar