SUDAH SEHARUSNYA KITA KEMBALI LALU MENAPAK LEBIH TINGGI (Bagian 1)
Senja dikala itu begitu indah
menghiasi perkebunan di kampung halamanku. Mata tak jemuh-jemuh menikmati kebun
beserta segalah isinya. ‘’Alangkah indahnya alam ciptaan-Mu Tuhan.” Demikian
perkaatan yang kusampaikan dalam lamunanku.
Tak terasa malam menghampiri, menyadarkanku
dalam lamunan indah. Akhirnya kujajahkan kaki pada setapak nan kecil
berkerikil di kelilingi pepohonan kelapa menyaksikan langkahku. Seketika tiba
hembusan angin bercampur aduk dengan kicauan burung menjadi satu; menghasilkan
suara harmonis menghantar perjalanan pulangku.
Kampungku merupakan daerah agraris; daerah
dengan limpahan hasil pertanian dan perkebunan. Masyarakat hidup dari
lahan ini sampai bisa menyekolahkan anak-anak hingga ke jenjang
perguruan tinggi. Hebat bukan? Bukan hanya itu saja, kampungku juga menyimpan
banyak keistimewaan yang lain seperti keragaman agama, suku dan budaya yang
membuat kampungku menjadi berwarna seindah pelangi di kalah hujan berlalu.
Perbedaan adalah kekuatan masayarakat selama proses kehidupan berlangsung;
’’berbeda tapi tetap satu’’. Toleransi yang begitu tinggi dan memegang teguh
nilai kekeluargaan yang lulur menjadikan kampungku bagaikan surga dunia.
Waktu terus bergulir, tahun terus berganti,
haripun berlalu. Datanglah sebuah masa yang dikenal dengan modernisasi; “hi
serem.” Masa ini datang menggerogoti zamanku dimana semua hal yang kunikmati
dulu perlahan mulai habis dikulitinya. Tak kujumpai lagi jengkal, terima,
inggo, kasti dan masih banyak yang lainnya. Jengkal dan terima adalah permainan
kanak-kanakku dulu waktu masih berusi 6-15 tahun. Apakah kalian masih ingat
permaianan tersebut? Namun kini hilang ditelan modernisasi. Anak seusiaku dulu
sekarang lebih memilih bermain handphone dan iphone, sehingga membuat mereka
menjadi makluk individualis. Bukan hanya itu saja masa ini datang dan mulai
merapuhkan keharmonisan dan kekeluargaan masyarakat.
Budaya warisan para leluhur teracam oleh masa
ini; tak ada kebersamaan, tak ada saling membantu dan semua menjadi invidualis.
Jelas terlihat masyarakat di kampungku mulai bersaing dan berjuang keras untuk
masa depan anak mereka. Semua bersusa payah membanting tulang, mengeluarkan
keringat tanpa henti agar anak-anak mereka bisa sukses dikemudian hari. Cara yang
dilakukan masayarakat di kampungku adalah menyekolahkan anak-anak mereka
setinggi mungkin. Dengan anggapan bawah semakin tinggi sekolah yang digapai
semakin tinggi pula kesejataran yang didapatkan. ’’Anak, sekolahlah dengan
benar dan baik agar kalian tidak seperti kami yang tiap harinya berkebun.’’ Pesan
orang tua kepada anak-anak mereka sebelum berangkat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Apakah
anda juga mendapat pesan seperti ini? Ya, mungkin hampir semua kita
mendapatkannya.
Mindset yang tercipta pada masyarakat
kami bahwa untuk hidup lebih baik adalah menjadi seorang PNS (Pegawai Negeri
Sipil) karena dinilai pekerjaan ini lebih ringan dan mempunyai gaji tetap. Kompetisipun
dimulai; “ayo bro, bersiap-siap yang kalah akan tersikir”. Masyarakat yang
melanjutkan sekolah (kuliah) dari tahun ke tahun terjadi peningkakatan. Persaingan
semakin ketat dan kompetisi semakin memanas. “Woalah kaya piala dunia aja nih.”Semua
ketakutan dan mulai belajar segiat mungkin untuk mendapatkan skil dan
pengetahuan yang mumpuni. Namun keheranan muncul di benakku; “kok yang kuliah
jurusannya kesehatan dan keguruan semua.Terus nanti mereka mau kerjanya dimana
sedangkan kampungku memiliki rumah sakit dan sekolah yang terbatas”. Bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi nantinya?
Dan pada akhirnya tiba masa dimana semua orang
tak menyadari akan kedatangngannya; “pengangguran.” Ya..pengangguran kini
kampungku menjadi lahan para sarjana merinti piluh, membasu tangis dan menutup
tawa. Pengangguran merebak luas hingga sebagian tidak sanggup menahannya dan
memilih untuk mengaduh nasib di tanah rantau. Bagaimana mau sanggup jika para
sarjana ini mempunyai keterbatasan lahan untuk bekerja. Keterbatasan ini
membuat para sarjana menjadi tenaga suka rela yang bekerja tanpa dibayar;
”woalah-woalah. Semakin tinggi sekolah kitakan semakin sejatrah kok terbalik sih”.
Mau tidak mau ya dijalanakan oleh para
sarjana di dikampungku dari pada dibilang tidak berpendidikan. Lahan yang masih
mungkin menampung mereka adalah sektor pertanian dan perkebunan namun sayang
mereka tak menyukai pekerjaan ini karena berstatus orang yang punya pendidkan
tinggi. ”Gengsi bro! Kita kan orang yang berpendidkan. Ya udah. Nganggur aja
dulu ya, bro!”
Hiruk-piruk suasana di kampungku membuat
masyarakat mencari jalan pintas mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai basis pendidikan.
Cara yang di tempuh adalah mendekatkan diri pada orang-orang yang mempunyai
pengaruh di daerah agar bisa diberikan pekerjaan. “Wani piro, bro?” Inilah
realita di kampung halamanku. Skil dan keterampilan menjadi persyaratan terakhir
dalam memperoleh kerja. Persyaratan pertama adalah “orang dalam.”. Benarkan?
Mungkin di kampung anda juga seperti ini. Budaya yang memalukan dan mampu
merusak karakter masyarakat. “Keluarga ya keluarga jangan dibawakan soal urusan
pekerjaan, karena kita punya hak yang sama.”
Sepintas muncul dari mulutku kepada
temanku yang baru pulang melamar kerja. Begini cerita temanku: “selamat siang
pak. Saya kesini mau melamar kerja. Apakah masih ada lowongan?” Jawab si
pegawai,“siapa yang menyuruhmu kesini, nak?” Temanku bingung dan hanya
memberinya surat lamaran lalu pulang. Beginilah kampungku sekarang.
Kampungku dikenal dengan sektor primernya yaitu
pertanian, perkebunan dan perikanan dan sektor ini banyak menyerap tenaga kerja
usia produktif. Namun sayang, tenaga
kerja yang terserap disektor ini banyak yang tidak mempunyai ijazah dan hanya
tamatan sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama, yang membuat
keterbatasan pengetahuan mereka dalam memperluas lahan yang ada. Inovasi yang
diharapkan untuk mampu mengubah kehidupan mereka tak kunjung tiba karena keterbatasan
pengetahuan. Keterbatasan ini dimanfaatkan oleh para tengkulak untuk menabur
benih pada sektor ini. Tengkulak sesuka hati menaruh harga pada hasil komoditi.
Masyarakat mau tidak mau harus menjualnya meski dengan harga yang rendah sebab
masyakat mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi untuk melangsungkan hidup.
Kita dilahirkan dari keluarga petani, dari kecil
kita suda belajar berkebun. Sudah seharusnya kita kembali ke kebun dan
mengembangkan potensi yang ada. Kenapa? Karena potensi terbesar daerah kita
adalah pada sektor primer dan wajib kita kembangkan. Sebab orang-orang yang
terlibat didalamnya adalah orang tua kita; bukan berarti kita kembali ke kebun
dan menjadi petani. Namun bagaimana tanggung jawab kita terhadap para petani
yang sudah bersusah payah menyekolahkan
kita dari hasil pertanian dan perkebunan. Bersambung.........
Yanto Sait
Ketua Generasi Muda Adonara (GEMA) Surabaya
Komentar