LOGIKA MORON NASIONALIS ANAK RUMAHAN DAN KONSTRUKSI HISTORIS SEBUAH MASALAH (Bagian 2)
Oleh Sugali Adonara
(Tulisan
kedua dari tiga tulisan, mempertanyakan posisi pemuda Adonara terkait
pembangunan Bandara dan Jembatan Palmerah)
Logika
moron nasionalis anak rumahan
Sebenarnya agak malas saya untuk
menulis belakangan ini. Apalagi menulis sesuatu yang sedikit “serius” diluar
kebiasaan menulis cerpen atau puisi. Apalagi ini bersifat kritik kepada sebuah
keadaan dimana keadaan tersebut melihat segala soal dari kacamata kuda, apalagi
ini kuda peliharaan. Agak asu juga rasanya melihat yang bengkok-bengkok, mulai
dari sebuah postingan tentang Larantuka kota kemomos (terlepas dari masyurnya
sebagai kota Reinha) dan betapa semangatnya kaum muda dari Mabar mengagitasi
dan memfasilitasi warga untuk melawan watak brengseknya pemprov NTT yang hendak
merampas satu-satunya ruang rekreasi tersisa bagi warga Mabar, Pantai Pede.
Masalahnya usaha meluruskan yang bengkok-bengkok ini dianggap ngapusi atau
paling banter cuma pamer intelektual dalam dunia hampa udara. Tapi saya rasa
menulis sesuatu – meskipun nantinya dianggap mbelekedes karena hanya diposting
di dunia maya oleh segelintir orang – tentang situasi yang tidak kalah
mbelekedes bagi saya bukanlah masalah besar serupa perang twit ala Dhani dan
Fahrat Abbas. Yang membesar-besarkan biasanya mereka yang menggangab diri tidak
“berteori tanpa bertindak” meskipun kedunguan sering lebih buruk dari pemuja
logika formal.
Ini soal logika moron kaum nasionalis
anak rumahan yang coba meleburi asas manfaat hanya dengan mengedepankan logika
fungsi sebuah benda. Entah fungsi benda itu digerakan oleh siapa dan untuk apa,
toh hal semacam itu tak berlaku dalam pemuja logika jika-maka yang tidak
kepalang tanggung juga sudah buat hancur hukum relativitas Einstein tanpa
ampun. Bahwa kalaupun fungsi sebuah benda adalah keberadaan benda itu, maka
keberadaan benda itu tak perlu lagi dipertanyakan ada di mana dan pada kondisi
apa dia harus berada. Begitulah para pemuja logika jika-maka mempertontonkan
ke-ngehekan-nya dalam mengkonstruksi sebuah soal. Soal kuantitas itu tidak
berhubungan dengan kualitas atau artinya jiwa ada baru benda seturut bacotan
Decartes dan antek-anteknya yang memuja eksistensi tanpa mengkonstruksi
peruntukan. Rasa-rasanya “ada/idea” dalam filsafat Platon mengalami diskursus
setengah-setengah.
Njelimet? Baiklah saya akan
menggunakan ilustrasi cukup mudah untuk menelanjangi logika ngehek ala
nasionalis amak rumahan ini.
Ketika Romo Mangun memperjuangkan
pemukiman kumuh di bantaran kali Code, dia mungkin saja menjadi arsitek paling
tidak populer di dalam kelompok arsitek Indonesia yang sudah kepalang tanggung
memuja mazhab Chicago atau arsitek yang mengkultuskan mazhab Frankfurt tanpa
diskursus lanjutan. Perbedaan antara yang Chicago dan Frankfut adalah bagimana
mereka melihat fungsi dari bangunan (baca: benda). Ketika itu mazhab Chicago
melihat fungsi sebagai sesuatu yang terpisah dari tujuan sebuah bangunan,
sementara bagi penganut mazhab Frankfurt fungsi harus sejalan dengan tujuan
bangunan tersebut. Oleh sebab itu, seorang Le Corbusier pernah berkata: rumah
adalah mesin untuk tinggal. Artinya, fungsi rumah tidak bisa terlepas dari
unsur-unsur yang membuatnya menjadi sebuah “mesin” termasuk manusia. Manusia
dengan segala pembentuk kehidupannya. Begitulah diskursus arsitektur seorang
Mangunwijaya dibangun, dimana manusia adalah tolak ukur dari fungsi sebuah
bangunan (baca: benda). Artinya, tanpa mendefenisikan terlebih dahulu sebuah
benda secara historis, fungsi benda tersebut tidak bisa diimplementasikan.
Mangunwijaya - berbeda dengan arsitek
bling-bling sejenis Ridwan Kamil - adalah seorang arsitek yang melihat benda
atau kreasinya sebagai sebuah keutuhan fungsi. Dia tidak ingin menyia-nyiakan
konsep hanya demi pemuasan estetika yang ornamental. Karena baginya, kepongahan
tercipta dari ornamentas-ornamentasi yang justru mengalienasi manusia. Baginya
manusia haruslah yang mendefenisikan fungsi sebuah benda bukan sebaliknya,
manusia didefenisikan oleh keberadaan sebuah benda. Seperti Platon mengatakan
bahwa jiwa adalah ide dari sebuah benda; maka ketika benda dipasung jiwa dari
benda tersebut tetap berdialektika sebab benda itu masih ada. Artinya, ketika
benda mendapatkan pelurusan defenisinya fungsi benda tersebut mendapat tempat.
Apa hubungannya dengan logika kaum
nasionalis anak rumahan? Ada baiknya kita tau dulu apa itu nasionalis anak
rumahan.
Gelombang penolakan terhadap kaum
Ahmadiyah di Indonesia itu equal dengan penerimaan terhadap neoliberalisme dan
domestikasi suku-suku pedalaman di Indonesia. Menjadi hal yang sangat lumrah
ketika mendengar sekelompok pemuda alay berteriak soal asimilasi budaya tapi
kelakuannya lebih bajingan dari politisi PKS yang ingin menghapus pelajaran
bahasa daerah dari kurikulum sekolah. Kaum nasionalis anak rumahan ini akan
membela mati-matian ketika kelompoknya dizolimi, namun akan dengan senang hati
mereduksi nilai kedzoliman itu ke dalam ide-ide komprador mereka. Maka jangan
heran ketika melihat linimasa twiter dipenuhi hastag-hastag semacam #FreeGaza atau #SaveAhoknamun pada kesempatan lainnya
mereka akan dengan senang hati berkampanye soal #GanyangSyiah atau #HidupKhilafah. Artinya, logika ala
nasionalis anak rumahan ini adalah memprofankan fungsi mereka sebagai makhluk
berpikir. Bagi mereka eksistensilah yang menentukan kualitas mereka, bukan
kulaitas mereka yang menentukan eksistensi mereka. Ini sama halnya dengan
sebuah benda dilihat dari keberadaanya tanpa mentolerir peruntukan benda
tersebut. Singkat kata: eksis dulu deh, soal berkualitas atau tidak itu kan
urusan lain. Iya toh?
Konstruksi
historis sebuah masalah: bandara dan jembatan Palmerah
Di Flotim sedang gencar isu jembatan Palmerah dan rencana didirikannya bandara. Argumentasi utama dari kedua proyek ini adalah membawa kemajuan dan perubahan bagi Adonara setelah lama terisolasi dari kemajuan. Selain itu kedua proyek ini diharapkan – bila terealisasi – bisa membuka akses ekonomi yang bisa membantu kemajuan kaum tani, buruh, dan nelayan di Adonara. Dan yang paling mutakhir adalah menopang kemajuan wisata di Adonara yang masih tradisional. Untuk menguji argumentasi ini, begitu banyak kelompok, individu, termasuk kelompok dan individu pemuda mengeluarkan pendapat dan argumentasinya. Bagi yang mendukung proyek ini argumentasinya seiring sejalan dengan apa yang dikemukakan Gubernur NTT maupun Bupati Flotim. Sementara yang tidak mendukung seiring sejalan mengatakan belum urgennya pembangunan bandara dan jembatan Palmerah dengan bertolak ukur pada kondisi masyarakat Adonara.
Mengukur argumentasi ini, baik
pendukung, yang kontra maupun dari pihak birokrat maka yang patut untuk dilihat
pertama adalah masalah-masalah yang ada dalam struktur sosial masyarakat
Adonara. Selain itu perlu adanya kajian - terutama bagi kaum muda yang memegang
posisi kaum intelektual – untuk melihat secara mendalam batasan-batasan fungsi,
keberdaaan dan peruntukan bandara dan jembatan tersebut dari konteks manusia
sebagai yang mendefenisikan fasilitas tersebut. Artinya telaah akademis harus
dilakukan dengan terukur dan jauh dari mental-mental komprador; yang mudah
mabuk pada optimisme semu atau yang hanya berpikir soal ada dulu baru
mendefenisikan fungsinya.
Sebagai agen perubahan, seorang
mahasiswa seperti saya, jelas mengidamkan perubahan yang signifikan di
lewotanah tercinta, Adonara. Namun perubahan signifikan tidak bisa sekedar
“mengambil kesempatan dan kesempitan.” Soalnya, ini bukan bicara sepakbola atau
merutuki peluang yang dibuang sia-sia oleh Lionel Messi saat berhadapan satu
lawan satu dengan Kaylor Navas. Berbicara perubahan lewotanah maka yang
dibicarakan adalah perubahan manusianya, terutama kualitas hidupnya. Sampai
pada soal ini, merubah arah pembangunan dengan harapan kualitas hidup manusia
dimana pembangunan itu terjadi meningkat, tidak hanya sekedar jamuan makan
siang ala tuan-tuan dalam negosiasi bisnis. Jelas harus ada landasan
historisnya. Begitu pula ketika berusaha melakukan kritik atau dukungan pada
sebuah kebijakan pembangunan, perlu adanya landasan historis pula.
Landasan historis memungkinkan pengkritik
atau pendukung untuk mencapai simpulan argumentatif dengan melakukan negasi
atas kemungkinan-kemungkinan perubahan itu berujung. Itu artinya proses
mengkosntruksi sebuah isu atau masalah dimulai dari dasar masalah itu datang.
Bandingkan sumber masalah itu dengan rujukan-rujukan berupa realitas
pendahulunya; melakukan hipotesa terhadap data-data historis tersebut; membuat
simpulan dan mengukur simpulan tersebut dengan masalah atau isu yang dibedah.
Relevansi antara data historis, simpulan dan masalah yang dibedah akan
menghasilkan putusan yang argumentatif yang bisa menentukan secara
rasional-ilmiah posisi seseorang dalam melihat masalah.
Kembali ke Adonara, bahwa fakta
historis menunjukan mayoritas masyarakat Adonara hidup sebagai nelayan, petani,
peternak dan buruh kasar. Fakta historis ini bertolak belakang dengan kebijakan
pembangunan yang diimplementasikan pemerintah terhadap Adonara yang diakui
sebagai penyumbang PAD terbesar di Flotim. Kebijakan-kebijakan kontraproduktif
ini dintandai dengan penghisapan habis-habisan kepada kaum tani oleh kulak;
perebutan lahan kerja oleh kaum buruh kasar yang tidak jarang menciptakan
ketidaknyamanan publik (perebutan penumpang oleh portir dan kapal penumpang,
misalnya); konflik tanah yang tidak selesai-selesai (yang satu ini sering jadi
isu historis ngehek yang coba dimanipulasi birokrat biar terlihat lebih baik
dari pilatus); dan masih banyak lagi persoalan sosial-ekonomi, budaya dan
politik yang tak terselesaikan dengan baik; menguap seperti es di sahara. Nonsens!
Lalu kemudian menjelang pilkada 2017
(maaf saya memang sangat curigaan dengan etika politik politisi Indonesia,
khususnya NTT) guburenur NTT menghebuskan kabar sebuah terobosan monumental
lewat program jembatan Palmerah dan pembangunan bandara di Adonara. Kedua
program ini menurut kakang Angling Dharma sudah sedang dilakukan kajian awal
berupa studi kelayakan proyek. Tapi saya tidak akan membicarakan itu. Toh,
tanpa dikritik pun hasil dari studi kelayakan itu tidak ada bedanya dengan
dongeng yang diceritakan di dunia antah berantah. Ingat studi kelayakan DOB
Adonara? Ya, itu. Ngapusi!
Lalu dengan segenap argumentasi, pihak
yang mendukung (saya ini menolak beneran loh) melakukan agitasi lewat tulisan
sentimentil (kalau tidak mau dibilang sarkasme ora mutu) sampai pada polarisasi
ruang (kesempatan dalam kesempitan) dan menafikan waktu (historis/data material
demografi masyarakat Adonara) bahwa bandara Adonara dan jembatan Palmerah itu
penting dan wajib kalau mau lihat Adonara mengalami kemajuan pesat. Argumentasinya
berlanjut, kalau akses transportasi dibuka selanjutnya investasi di Adonara
akan semakin meningkat pesat karena investor lebih mudah masuk Adonara
(gara-gara logika ini saya sampai kepikiran untuk ketemu wali kota Batu dan
ngajak debat kenapa di Batu tidak sekalian dibangun jalan Tol dan bandara).
Kalau investor didefenisikan sebagai pemilik modal, baik duit maupun kemampuan
akomodatif, maka apa bedanya dengan kulak yang tak lain tak bukan tentakel dari
gurita investor ini? Mau lebih maju lagi saya bertanya begini saja: apa
syarat-syarat daerah otonom yang barokah melindungi rakyatnya sudah dipenuhi
kabupaten Flotim? Melindungi rakyatnya berarti, berbicara terkait demografi
masyarakat Flotim; mendefenisikannya dan memetakan persoalan-persoalannya lantas
dieksekusi dalam bentuk kebijakan bukan sekedar artefak untuk menghiasi kantor
Bupati. Aduh, saya lupa bahkan tanpa akses transportasi investor sudah
menguasai harga-harga di Adonara. Saya kasih contoh kecil: berapa harga jual
bensin eceran di Adonara? Bandingkan dengan harga jual di SPBU Waiwerang yang
dibuka sejam dalam sehari. Bayangkan, betapa barokahnya arah pembangunan di
Flotim bagi masyarakat, khususnya di Adonara.
Begitu tuli, buta dan bebalnya
generasi muda Adonara, terlebih yang melihat persoalan Bandara Adonara dan
Jembatan Palmerah hanya sebatas kesempatan. Konstruksi “kesempatan” secara
historis apa yang hendak ditawarkan kaum pemikir, sejenis mahasiswa dan kaum
muda lain, agar arah perubahan adalah kerja kolektif? Aneh rasanya ketika mendengar
sekelompok pemuda Adonara merutuki praktek pengisapan di Adonara tapi pada
kesempatan yang sama mengamini kerja-kerja kolektif penghisapan itu sendiri.
Aneh rasanya mendengar sekelompok pemuda Adonara mengutuki diskriminasi
sosial-ekonomi di Adonara tapi mengiyakan akses kapitalisasi dan memujanya.
Aneh rasanya mendengar anak-anak muda mendewakan investor tapi lupa bahwa
Adonara sudah digempur investor sejak kulak mengontrol harga hasil bumi di
Adonara.
Saya tidak berusaha mengkotak-kotakan,
tapi kualitas logika moron ala nasionalis anak rumahan memang harus dikebiri!
Karena sekedar “ada saja dulu” itu ahistoris.
Salam piss dari Arema land!
Komentar