MATINYA KRITISISME KAUM MUDA (Bagian 1)
Oleh Sugali Adonara
(Ini
akan menjadi tulisan pertama saya dari tiga tulisan yang akan mengkritik posisi
kaum muda – tidak hanya mahasiswa – dalam melihat geliat dan isu pembangunan
terkait Bandara di Adonara dan Jembatan Palmerah).
Tidak bisa dipungkiri, Bongkar-nya
Iwan Fals adalah salah satu lagu atau hymne pembrontakan terbaik sepanjang
sejarah musik Indonesia. Tidak peduli seberapa brengsek lirik lagu Iwan
sekarang, sejarah tidak bisa melupakan waktu mudanya ketika dia menuangkan
semua energi produktifnya untuk menciptakan lirik-lirik provokatif, termasuk
Bongkar yang masyur itu. Yang pada akhirnya lirik itu pernah saya nyanyikan
ketika SMP dan ikut demo soal RUU Sidiknas 2002. Dan ternyata itu menjadi hymne
gerakan pemuda saat meruntuhkan Soeharto si bengal itu.
Bisa dibilang, musisi-musisi muda
seangkatan Iwan waktu itu lebih suka menghabiskan energi postifnya dalam
lingkar kenyamanan industri dan kehidupan yang tidak mau direcoki intel-intel
Soeharto. Tidak jauh beda dengan seniman musik mainstream sekarang ini, yang
bahkan untuk urusan sosial hanya berakhir pada dompet duafa di depan kamera.
Bayangkan di depan kamera! Dan ucapkan selamat datang ke dunia banditos
industri yang mempertontonkan dengan vulgar distorsi klas dan pembunuhan
karakter antar klas.
Sebenarnya di awal 2000-an pasca
reformasi ada pemuda gila bernama Doyz yang nekat melawan arus popularitas Iwa
K lewat album Prespektif yang tahun 2014 kemarin diremastering. Lalu ada si
otak sompral Ucok “Mourge Vanguard” dari Bandung yang sukses dengan Godzkilla
Necrometry yang membuat seni Rapping tidak sekedar bacotan kaufinis atau
romantisme acak kadut ala Wiz Khalifa. Jelasnya Indonesia pernah punya
segelintir orang dalam lapisan generasi muda yang berani memompa habis-habisan
energi revolusionernya dan sangat menghormati posisinya sebagai perantara di
dalam perang antar klas dengan apa yang dia bisa lakukan. Dan untuk itu mereka
berani menui badai dengan manafikan optimisme palsu ala industri bling-bling.
Kondisi laku pemuda di dalam dunia
seni ini tidak ada bedanya dengan kaum muda yang berkutat dalam dunia kampus
atau pekerja. Indonesia mencatat pernah punya D.N Aidit yang rebel namun
soleha. Lalu ke tahun 1960-an Indonesia punya Soe Hok Gie (yang satu ini Idola
gua banget) yang idealismenya bahkan tidak bisa diruntuhkan janji surga duduk
di Senayan selain oleh penderitaan rakyat. Kembali sedikit ke belakang di awal
perjuangan kemerdekaan ada Tan Malaka, satu-satunya pemuda Indonesia yang
berhasil menelurkan filsafatnya sendiri yang terkenal dengan nama Madilog.
Kemudian di era Orba ada Wiji Thukul, Marsinah dan Munir. Semua pemuda pejuang
ini tidak pernah hidup dalam lingkar kenyamanan atau dengan perangai oportunis
coba tidur lelap sambil membayangkan posisi politis dengan Bantley atau Toyota
Crown.
Pemuda, di mana pun posisinya,
memiliki fungsi yang sama sebagai pengganti generasi sebelumnya. Dalam
pemahaman sosiologi, pemuda adalah klas borjuis kecil. Klas borjuis kecil
merupakan kelompok masyarakat yang tumbuh secara natural dalam lingkar
kemapanan, terutama dalam penguasaan akses informasi dan modal intelektual. Hal
ini sejalan dengan batasan pemuda sesuai UU No. 40 Tahun 2009 yang memposisikan
pemuda sebagai generasi yang berkembang secara biologis dan psikologis. Berkembang
dalam batasan UU tersebut bisa dilihat sebagai upaya belajar, menemukan dan
membuktikan fenomena-fenomena yang bergerak dalam generasinya. Artinya, pemuda
secara natural adalah pemilik perubahan itu sendiri; pengendalai perubahan itu
sendiri.
Fakta kemudian bergeser ketika gerakan
pemuda 1965 meruntuhkan Soekarno dan mengantar jendral Jagal, Soeharto, menuju
kursi panas RI 1. Pada era Orba pemuda diikat di dalam kampus seperti pesakitan
lewat pengetatan jadwal kuliah kampus, terlebih ketika aturan NKK/BKK
diorbitkan oleh pemerintah Orba pasca peristiwa 1974 dan 1978. Praktis pemuda
dalam hal ini kelompok mahasiswa dengan segala energi produktifnya diarahkan
untuk mendukung sebuah rezim. Maka praktek jual beli tenaga produktif dalam
ranah politik pun dimulai, ketika banyak kelompok gerakan mahasiswa pasca
runtuhnya Soekarno menjadi agen kaderisasi kelompok elitis. Meskipun akhirnya
pada 1998 gerakan pemuda yang dimotori mahasiswa meruntuhkan orde yang turut
dibangun oleh generasi mereka sebelumnya. Sayangnya, orde reformasi yang
digalakan kaum muda itu hanya berakhir pada lubang jamban yang baru: demokrasi
liberal.
Perjalanan pemuda dalam setiap lapisan
generasi Indonesia memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Namun diskursus
bahwa tenaga pemuda sering menjadi alat pemuasan nafsu syahwat berkuasa pun tak
bisa dinafikan. Sebagai klas borjuasi kecil, jarak antara pemuda dan realitas
sosial menjadi sangat jauh. Persoalan utamanya adalah kepemillikan atas modal
intelektual, menjadikan pemuda terjerat rasa nyaman (pragmatis) dan memiliki
zona hidup sendiri. Pemuda menjadi kelompok elit kecil di dalam struktur sosial
kemasyarakatan, karena berposisi sebagai modal politik praktis lewat
depolitisasi fungsi pemuda sekaligus sebagai tenaga yang mendorong perubahan
bagi masyarakat sebagai agen kerja sosial yang tak lebih baik dari industri
pencarian bakat. Akibatnya, kritisisme pemuda hanya sebatas filosofi ala Mario
Teguh dan lupa pada akar materialisme nya, bahwa manusia bukanlah produk
penelitian semata.
Okupasi politik dalam diri pemuda
dimulai ketika kaum muda diarahkan untuk menjadi “positif” dalam konteks
konstitusi, yang mana konstitusi ini sudah dimotori oleh kehendak birokrat
untuk meminimalisir regresi terhadap posisinya. Pemuda diarahkan secara
sistematis untuk menjadi “kritis” di dalam trem-trem kelompok elitis. Contoh
paling muthakir adalah peristiwa penolakan masyarakat Yunani terhadap okupasi
World Bank, IMF dan Bank Sentral Eropa lewat bailout akibat krisis ekonomi di
sana. Meskipun secara kasat mata gerakan itu (yang juga dimotori kaum muda)
merupakn salah satu people power paling dramatis di dunia, namun faktanya
gerakan kritis itu masih menjadi tujuan politis kaum kiri bling-bling Yunani.
Bahwa pada akhirnya gerakan itu melepaskan Yunani sebagai bangsa dari
cengkraman para pemodal kelaparan lewat badan keungan dunia tersebut, hal itu
merupakan soal lain. Bahwa keberhasilan rakyat Yunani secara kolektif harus
dirayakan pun tetap soal lain. Bahkan bahwa sebuah gerakan antar klas pada
akhirnya harus terselesaikan dalam ranah politik pun merupakan hal lain.
Kooptasi politik terhadap gerakan
rakyat, terkhusus yang dikomandoi kaum muda, bukanlah hal baru. Ketika gerakan
1965 berhasil meruntuhkan demokrasi terpimpin ala Soekarno, mantan militan
pemuda secara gamblang memperebutkan kursi di pemerintahan, mulai dari senayan
hingga istana. Hal ini memicu Gie mengirimi teman-temanya hadiah berupa
perlengkapan rias wanita. Pada era reformasi bigot sejenis Amien Rais
bertebaran di mana-mana mulai dari senayan hingga ke istana. Bahwa meskipun ada
kelompok pemuda yang tetap memilih posisinya sebagai katalisator dalam perang
antar klas, adalah hal lain yang patut diapresiasi. Namun kematian kritisisme
pemuda sebagai akibat dari posisinya sebagai borjuasi kecil menunjukan betapa
tidak efektifnya gerakan pemuda sebagai pembeda dalam gejolak sosial
kemasyarakatan.
Kamatian kritisisme pemuda, atau kalau
mau lebih sopan, kematian berpikir kaum muda merupakan akumulasi zaman dan
ketidakberdayaan pemuda untuk independen. Kerancuan pemuda dalam melihat dan
mengkonstruksi masalah pun menjadi persoalan yang patut untuk diperhatikan.
Tapi persoalan ini urusan siapa? Ini urusan pemuda sendiri: memilih menjadi
bigot atau fagot sekalian; atau memilih jalan sunyi seorang ronin. Pemuda harus
berani kembali ke posisinya sebagai katalisator pertarungan klas dalam
masyarakat bukan sebagai alat penguasa, baik secara sadar maupun tidak.
We are young! We rule the world!
Tulisan ini perna dipublkasikan
melalui grup facebook WOKA BELOLON CULTURE SPACE (https://web.facebook.com/groups/1388910914769371/permalink/1434192343574561/)
Komentar