DISTRAKSI PENYELIDIKAN BRANKAS

Oleh: Kanisius Ehak Wain

Semuanya menjadi simpang siur. Willy Wato Kalah (WWK) ditetapkan sebagai tersangka tipikor oleh satreskrim polres Flores Timur dalam penyelidikan perkara pembobolan dua brankas Dinas Kesehatan kabupaten tersebut. Sementara itu, setelah hampir delapan bulan berlalu, kasus yang sesungguhnya masih jauh dari titik tuntas.

Publik Flotim masih terus menunggu janji I Nengah Lantika—sang kasat untuk menuntaskan pembobolan yang merugikan kas dinas ratusan juta tersebut. Mereka terus mengikuti perkembangan penyelidikan dari pemberitaan media-media massa, dan sering memperbincangkannya di salah satu group diskusi virtual. Intensitas perhatian publik itu harus segera diakomodir, sebelum berubah menjadi sebuah protes massal. 

Tampaknya mereka (publik) sudah gerah dengan janji yang tak kunjung ditepati. Spekulasi-spekulasi miring mulai merebak, karena selain bertele-tele, proses penyelidikan menggambarkan beberapa kejanggalan. Agaknya masuk akal mensinyalir adanya upaya untuk menenggelamkan peristiwa yang sesungguhnya. Memangnya ada apa, dan siapa pula gerangan “maling” yang menggasak kantor dinkes pada hari-hari di mana berbagai aktivitas politik berbiaya tinggi digelar sehubungan dengan pilkada Februari silam itu?!

Menelurusi Kejanggalan
Faktanya sangatlah sederhana. Pada pagi-pagi, penjaga malam mendapatkan kantor dalam keadaan tidak rapi lagi. Beberapa pintu ruangan kantor tercongkel dan dua brankas penyimpanan uang berpindah keluar, tergeletak di lantai, tak terkunci dan sudah tanpa uang yang sebelumnya tersimpan aman di dalamnya. Tidak butuh kriminologi tinggi untuk  menyimpulkan bahwa kantor yang mengurusi masalah kesehatan masyarakat Flotim itu telah menjadi korban sebuah aksi kriminalitas.

Menanggapi laporan, kepolisian langsung bertindak, mulai dari olah TKP (Tempat Kejadian Perkara) dan selanjutnya pemeriksaan saksi-saksi. Proses penyelidikan dilakukan sejak hari itu juga, tetapi belum rampung-rampung hingga saat ini. Sedemikian rumitkah perkara kecil di kota mungil kita ini sehingga keahlian penyelidik tak kuasa membongkarnya?! Atau, haruskah kita mempertimbangkan spekulasi miring di atas? Saya ingin membeberkan beberapa kejanggalan di dalam proses penyelidikan ini.

Lagi, faktanya amatlah sederhana. Secara kronologis, kejadian pembobolan jelas terjadi pada malam hari. Dari situ saja, kunci penelusurannya memang harus dimulai dengan kesaksian penjaga malam, yang dalam hal ini berstatus sebagai otoritas— yang berwenang atas kantor tersebut pada malam hari. Penting untuk menggarisbawahi otoritas itu agar penyelidikan bisa punya fokus. Di manakah otoritas yang bertanggung jawab atas keamanan kantor itu sehingga pelaku-pelaku penggasakan bisa lolos? Kenyataannya, otoritas tersebut absen bertugas pada malam kejadian, memilih pulang ke rumah, karena takut pada hujan lebat dan angin kencang yang lagi melanda. Sulit untuk menerima bahwa absensi dan pembobolan sama sekali tidak memiliki korelasi alias kebetulan. Penyelidik yang cerdik dengan bekal keahlian dan pengalaman yang mumpuni akan membuat kelalaian tersebut sebagai underline. Tetapi yang terjadi sama sekali lain. Kenyataan itu bukan saja tidak diperdalam, malah terkesan diabaikan. Maka, saya sendiri akhirnya mengerti bahwa penyelidikan ini bertele-tele dan tak jelas arah karena penyelidik sendiri mengabaikan entry point (titik masuk) ke dalam fakta.

Aneh memang. Bukannya penjaga malam, penyelidikan awal justru santer menyebut nama seorang tenaga kontrakan yang baru saja bekerja tiga hari di kantor itu. Tidak keliru jika kepolisian membidiknya sebab yang bersangkutan memegang segepok kunci milik kantor, yang di antaranya adalah kunci brankas. Perkakas tersebut dititipkan bendahara dinas, yang tidak lain WWK sendiri, kepadanya. Fakta di TKP yang kuat mengindikasikan peristiwa pembobolan berlangsung tanpa penggunaaan kunci-kunci tersebut kiranya menjadi alasan yang cukup bagi penyelidik untuk melepaskannya. Namun penyebutan yang santer mengenai namanya, pada kenyataan sukses membuat penjaga malam luput dari perbincangan umum. Adakah ini sebuah distraksi?!

WWK, yang kala kejadian sedang melakukan perjalanan dinas ke Jakarta, kemudian menjadi fokus penyelidikan selanjutnya. Sebagai bendahara, dia memang perlu dimintai keterangannya; paling tidak untuk memastikan ada-tidaknya uang di dalam brankas yang digasak. Di luar dugaan, pemeriksaan atas dia sebagai saksi, penyelidik malah mengendus kejahatan lain, yaitu korupsi. Sungguh sebuah prestasi, sebab penyelidikan terhadap sebuah kejahatan umum (baca: pencurian) justru bisa menemukan suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Tetapi publik bukannya memberikan applaus, malah sebaliknya, mereka mencibir pemunculan kasus tipikor tersebut sebagai upaya menutup-nutupi pembobolan. WWK yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka tunggal dianggap sebagai tumbal semata. Asumsi seperti itu jelas common sense, sebab kemampuan membongkar kriminalitas luar biasa berbanding terbalik dengan kriminalitas biasa. Penyelidik begitu mudah dan cepat menemukan korupsi, tetapi tampak gagap dan berkepanjangan dalam menuntaskan pembobolan, Memangnya siapakah “Dia” di balik pembobolan ini sehingga seorang pejabat bendahara bisa begitu saja dikorbankan? Mestinya, dia lebih berkuasa dari bendahara, bukan?!

Penetapan sang bendahara sebagai tersangka tunggal tipikor di dinas tersebut mengarahkan kita ke perihal organisasi dinas, bahkan OPD (Organisasi Pemerintahan Daerah) secara umum. Aturan penggunaan anggaran tidak menempatkan bendahara sebagai satu-satunya otoritas. Ada otoritas lain, semisal kabag keuangan dan tentu saja kepala dinas. Nyaris tidak ada wacana mengenai kesaksian dari kedua otoritas tersebut sehubungan dengan tipikor yang dilakukan bendahara mereka. Berdasarkan pemberitaan media, penetapan ini terindikasi lemah secara hukum sebab berpijak pada kesaksian-kesaksian yang rendah kesahihannya. Maka tidak heran kalau BAP tipikor WWK gagal berkode P21 di tangan kejaksaan negri. Entah apa lagi kejanggalan yang akan muncul menyertai kasus kecil dengan fakta TKP yang sederhana tersebut.

Proposal Penyelidikan
Semua kejanggalan di atas seakan menandaskan bahwa penyelidikan sedang memainkan sebuah distraksi. Pemunculan nama pemegang kunci dengan santernya di awal dan penetapan WWK sebagai tersangka tunggal tipikor tidak kurang dari sebuah distraksi belaka. Pemegang kunci adalah distraksi terhadap penjaga malam yang seharusnya menjadi kunci untuk membuka teka-teki pembobolan. Dan, tipikor sendiri dengan sangat gamblang mendistraksi kasus pemula yang hari-hari ini semakin dalam terkubur.

Janji penuntasan kasus pembobolan hanya bisa terlaksana tanpa distraksi (lagi). Penyelidikan harus rewind dari kesaksian penjaga malam, dan menjadikan dia sebagai kunci untuk masuk ke fakta yang sebenar-benarnya dari kejahatan pembobolan. Penyelidikan tidak bisa beralih fokus darinya, sebab sejauh mengenai pembobolan, tidak ada kesaksian lain yang lebih potensial. Tanpa pendalaman terhadap “absensi”-nya penjaga malam, pada akhirnya sama saja nihilnya. Kesaksian-kesaksian lain, terutama dari semua otoritas keuangan dinas sepenuhnya bersifat konfirmatif di awal, dan bisa berkembang mengikuti proses penyelidikan.

Sementara terkait kasus korupsi yang BAP-nya gagal P21 tersebut masih perlu pendalaman lagi dengan kesaksian-kesaksian yang valid. Validitas itu pertama-tama terukur dari siapa-siapa yang bersaksi. Oleh karena korupsinya melibatkan seorang bendahara dinas, maka semua otoritas dinas yang punya kaitan dengan anggaran berikut penggunaannya adalah kesaksian-kesaksian berkesahihan tinggi. Paling tidak, kepala dinas, yang sejak kasus pembobolan di-plt-kan oleh sekda aktif dan kabag keuangan harus bersaksi untuk tipikor tersebut.

Penantian dan Harapan
Sekali lagi, publik masih menantikan penuntasan, dan penting untuk diingat, mereka tidak diam. Mereka terus meneluri pemberitaan media dan intens memperbincangkannya. Dengan kata lain, publik terus-menerus mengawasi penyelidikan ini sampai kapan pun, sehingga rasa-rasanya percuma meneruskan distraksi yang rendah plausibilitas seperti itu. Ketimbang beresiko menghadapi protes massal, ada baiknya satreskrim polres Flotim mengerahkan segala sumber daya dan keahlian untuk sesegera mungkin menuntaskan perkara ini. Bukankah kita semua sudah lelah dengan semua ini selama delapan bulan terakhir?

Publik masih menunggu, dan masih terus mengikuti perkembangan penyelidikan tersebut melalui pemberitaan media. Di titik itu, kepolisian resor Flotim diharapkan bersinergi dengan para pewarta. Polres perlu membuka akses yang seluas-luasnya dan memberikan keterangan yang seterang mungkin alias tanpa ditutup-tutupi kepada media dan pewartanya, sebab publik sepenuhnya mengandalkan mereka sebagai sumber informasi. Membatasi akses dan pembungkaman keterangan bagi media dan pewarta jelas akan mengasingkan publik dari kasus tersebut, dan itu sama saja berarti memicu kebisingan protes secara luas.

Kanisius Ehak Wain, pelibat diskusi virtual Suara Flotim; sarjana sosiologi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta.   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA

"BEKU” SANG NAGA LAUT YANG PERKASA (Bagian 1)

PREMANISME POLITIK SEBAGAI KETIDAKDEWASAAN BERPOLITIK