Geliat Ekonomi Desa
Cerita oleh: Asis Lewokeda
Nama
Libu duduk bersilah di depan pintu kamar sebuah rumah kontrakan. Lelaki 59
tahun itu banyak bercerita mengenai kondisi masyarakat di sebuah desa daerah
asalnya, desa Lewopao. Wilayah administratif
desa itu berada di Kecamatan Adonara Tengah, Kabupaten Flores Timur
Desa
Lewopao terdiri lebih dari seratus kepala keluarga. Mayoritas masyarakat di
sana hidup sebagai petani. Kepemilikan lahan masyarakat tersebar. Ada wilayah
lahan yang tersebar hingga ke daerah pantai di dekat Desa Waikewak, Kecamatan
Adonara barat.
“Penghasilan
utama masyarakat di sana (di Desa Lewopao) dari hasil kelapa, kopi, dan kemiri.
Hampir semua punya itu”, ujar Nama.
Sebenarnya,
lanjutnya, ada juga hasil tanaman lain seperti Vanili, namun ketidakstabilan
harga Vanili dalam yang terjadi belakangan ini membuat para petani tidak serius
mengurus. Tanaman Kakao yang juga seringkali bernasib naas dengan kondisi buah
yang hancur.
Di
lain sisi, kemarau panjang menjadi ancaman serius bagi produktifitas kopi.
Ketika harga kakao naik, banyak petaniyang memanfaatkan lahan tanaman kopi
untuk menanam kakao. Lahan serta tanaman
kopi jadi rusak karena ditutup kakao.
Banyak
petani menyasar kemiri sebagai sumber penghasilan. Buah kemiri yang jatuh, diambil,
jemur, kemudian dititih. Setelah memisakan biji dari kulit, kemiri dijual.
“Kemiri
yang dihasilkan ada yang sampai berton-ton. Kemiri yang putih, bulat, bersih,
bisa dijual dengan harga diatas Rp 20 ribu per kilogram”, ujarnya.
Masa
panen buah kemiri dilakukan masyarakat hingga 2 kali dalam setahun. Biasanya
pada bulan Mei dan Oktober.
Mantan
kepala desa Lewopao (tahun 2002-2007) itu mengaku, kendala yang seringkali
dihadapi masyarakat berkaitan jangkauan menuju lokasi perkebunan. Hasil kebun
yang melimpah sulit untuk diangkut.
“Banyak
daerah yang tidak bisa dijangkau dengan alat transportasi. Belum ada jalan
masuk. Ada yang harus menyimpan di desa-desa yang lebih dekat dengan akses
menuju Waiwerang”, ujarnya.
Ia
menambahkan untuk dapat mengangkut hasil kebun itu, para petani harus menyewah
tenaga manusia. Ada yang dilakukan secara bergotong royong, namun itu tidak
semua.
“Kadang-kadang
dibantu oleh kelompok ibu-ibu, kelompok gereja. Namun sulit ketika orang lain
juga mengurus hasil kebun masing-masing. Petani terpaksa harus mengangkut
sendiri”, ujarnya sambil menghabiskan sebatang rokok di tangan.
Ketika
ditanyai mengenai sistem penjualan hasil kebun, Nama mengatakan bahwa banyak
dijual kepada penimbang. Para penimbang langsung datang ke desa untuk menimbang
hasil. Ia mengaku bahwa perbedaan harga cukup jauh.
“Tengkulak
bisa “makan” banyak harga dari masyarakat. Hasilnya didrop ke pengusaha China”,
ujarnya.
Lain
Kemiri, Lain Kopra
Selain
kemiri, hasil kopra juga dijual ke penampung yang sama. Pada diskusi
sebelumnya, Anton Puhugelon mengatakan bahwa biasanya untuk hasil kopra di
tempatnya (wilayah Witihama) yang dibawah ke Waiwerang tidak langsung
ditimbang. Penampung melakukan uji kualitas terdahulu. Harga tergantung
kualitas. Harga kopra setengah matang beda dengan yang sudah matang.
“Harga
kopra hanya Rp 1.500 per kilo itu karena pemiliknya mau menimbang lebih awal.
Ada yang setelah selesai petik dan belah
hanya menyiram dengan abu dapur dan langsung ditimbang, mereka (pemilik) tidak
tunggu hingga matang. Kalau matang harga bisa mencapai Rp 2.000 per kilo."
“Ketika
penampung (pengusaha China) di Waiwerang mencoba kopra yang hendak dijual, dan
melihat hasilnya masih mentah, maka harganya lebih murah ketimbang kopra yang
sudah matang”, ujarnya.
Saya
menyambut cerita Anton dengan bertanya lantas dibawah ke mana kopra yang
berkarung-karung itu kalau tidak jadi ditimbang?
“Mau
tidak mau tetap ditimbang dengan harga seperti itu. Orang kesulitan untuk
membawa pulang. Belum lagi biaya transportasi”, jawab Anton.
Memasuki
musim hujan, produktifitas kelapa meningkat. Hasil kelapa menjadi lahan basah
para tengkulak, maupun penampung besar yang ada di Adonara. Para penampung itu merupakan
pengusaha China yang sudah sekian lama hidup dan berniaga di sana.
Sulit
Disaingi
Anton
dan Nama mengakui bahwa pasar hasil bumi
di Pulau Adonara didominasi oleh pengusaha China.
Nama
mengatakan bahwa sebelum dan setelah menjadi kepala desa ia bekerja menjadi penimbang.
Ia memutuskan untuk hengkang dari pekerjaan itu lantaran merasa selalu ditekan
oleh pengusaha yang memiliki posisi lebih tinggi.
“Menjadi
tengkulak tidak akan pernah bisa maju, posisi dan keuntungan dalam bisnis kita
sulit berkembang, karena akan ditekan oleh pengusaha China”, ujranya.
Ia
mengatakan bahwa orang bisa saja mencari jaringan bisnis selain dengan China,
namun ketika terlihat berbagai upayah akan dilakukan untuk menghalangi.
Bagi
Nama, kesulitan modal dan akses sarana-prasarana dari pengusaha lokal untuk
menunjang bisnisnya menunjukkan ketidakseimbangan antara pengusaha China dan
pribumi. Orang boleh mengelolah hasil komoditas dan menjual langsung ke daerah
Jawa, namun resiko bisnis juga perlu dipertimbangkan dengan matang.
“Ada
orang yang sudah mencoba dengan membawa hasil komoditi untuk dijual langsung di
Surabaya, namun ketika mereka pulang ke sana, bisnis mereka tidak bertahan
lama. Bangkrut.”, ujarnya.
Ia
menilai pebisnis pribumi sulit untuk bersaing dengan China karena rendahnya
kekuatan modal.
“Saya
pernah bekerja sama dengan mereka (pengusa China) sebagai penimbang. Memang
sulit melampaui mereka, karena kekuatan mdal kita lemah. Selalu tertahan”,
ujarnya.
Anton
mengatakan, hingga saat ini, sekitar lima kapal laut ekspedisi yang masuk ke
Adonara maupun pulau di sekitarnya. Itu semua milik bekerja sama dengan
pengusaha China.
Suasana
terdiam sejenak dalam diskusi itu, ketika seorang calon mahasiswa baru asal
Adonara memberi tanggapan.
“Kenapa
pemerintah tidak mengadakan sarana seperti kapal untuk mengangkut hasil
komoditas tersebut, agar bisa dijual langsung ke pabrik, tanpa perantara”,
tanya Martin.
Anton
kembali menjelaskan mengenai beberapa pengusaha baru dari India yang kini ikut
meramaikan pentas dagang di Adonara.
Ia
melihat bahwa, bisnis orang India yang berada di sana berkembang cepat karena
strategi bisnis yang dinilai lebih manjur.
“Pribumi
yang mau bekerja sama sebagai penimbang dengan pengusaha India. Mereka berani
memberikan modal awal yang lebih banyak. Kalau China bisa kasih Rp1 juta, orang
India bisa kasih Rp 15 juta”, ujarnya.
Sekarang
pebisnis asal India sudah membuka sekitar dua gudang penampung yang cukup besar
di Adonara. Satu di Wilayah Desa Kiwangona, satu lagi di dekat Wailingo.
Tidak
hanya itu, di wilayah pantai Lewobuto, Desa Meko, sudah ada mesin pembuatan
garam laut. Hasil produksi dipasarkan di Adonara dan luar daerah. Ada garam
dalam bentuk batang, ada juga dikemas sasetan. Pabrik itu dikelolah orang
India.
“Hasil
garam diangkut dengan truk kontainer yang besar. Kadang tidak bisa masuk ke
lokasi karena ruas jalan yang sempit. Kalau pohon rendah dan mengahalangi juga
ditebang. Jalan juga mudah retak”, kata Anton.
Pengusaha
China dan India akan menjadi rival bisnis yang bersaing ketat. Lalu bagaimana
dengan pengusaha pribumi?
“Yah
masih belum bisa bersaing. Bisnis masyarakat di sana masih lemah”, ujar Anton.
Wawancara
dalam diskusi bersama Nama Libu, dan Anton Puhugelon.
Blok-O,
Jogjakarta, 4 Juli 2013
Komentar