Cerita Dari Gubuk Biru
Oleh: Asis Leowokeda
Sore itu,
saya duduk dengan beberapa teman di sebuah teras rumah kontrakan. Tempat itu
akrab dikenal dengan “Gubuk Biru”. Sebenarnya saya bermaksud mampir untuk mengambil
kontribusi kegiatan organisasi. Rupahnya persinggahan saya disambut dengan kopi
hitam tampak panas menguap. Ada juga jagung titih. Saya bertahan sejenak untuk
menikmatinya.
Ada yang
menarik ketika kami sedang menyantap hidangan. Ada diskusi lepas yang terjadi.
Saya coba menyinggung beberapa wacana megenai isu konflik yang
digembar-gemborkan sedang terjadi di beberapa desa di Adonara tidak lama ini.
Saya berharap mendapat tanggapan dari mereka yang ada di situ. Alhasil, reaksi
yang muncul luar biasa. Teman-teman dengan segera menyambut wacana itu dengan
beberapa perspektif yang menarik adanya. Seakan-akan tak sabar menunggu untuk
memulai sebuah diskusi. Perlahan saya larut dalam wacana yang diperbicangkan.
Diskusi
semakin serius ketika semua saling bertukar cerita mengenai pengalaman massa
lalu yang beragam. Dari pendekatan sejarah adat istiadat masyarakat hingga
pendekatan dengan konteks kekinian. Kami berbicara mengenai konflik komunal
yang kerap kali terjadi di Pulau Adonara. Ada juga topik lain yang tak kalah
menarik dalam diskusi itu mengenai tuntutan-tuntutan dalam sebuah ritual adat
kematian manusia Adonara.
“Saya
melihat banyak hal-hal baru yang sengaja diciptakan oleh masyarakat tertentu
semata-mata karena gengsi. Contoh mengenai “ume ape”. Ujar Gusti, salah seorang
teman yang ada dalam diskusi.
Senada
dengan itu, Kalis Rianghepat mengatakan bahwa hal tersebut dibuat-buat. Ada
nilai yang tidak sesuai dengan esensinya.
“Di
tempat kami (maksudnya di wilayah Witihama), sudah sering adanya pembahasan
anatara tokoh adat, takoh masyarakat, aparat desa, dan masyarakat untuk
menyepakati mengenai tanggungan adat yang sesuai dengan esensinya”, sambung
Jabir Bebe.
Kenyataan
pun berbicara lain. Masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan soal itu
dengan berbagai dalih.
“Masih
ada kontroversi dalam masyarakat untuk membicarakan berbagai
kesepakatan-kesepakatan”, ujar Kalis.
Lantas
apa yang perluh dilakukan. Saya pikir perlu adanya dialog bersama antar
berbagai elemen masyarakat agar semuanya tahu dan mau untuk mengambil keputusan
bersama. Agar tercipta mutual understanding.
“Kita pun
sebagai orang terpelajar harus bisa mensosialisasikan itu untuk mencari jalan
keluar bersama. Pertama bisa melaluiorang-orang di dekat kita, keluarga”,
tambah Hanes.
Saya mengatakan bahwa wacana semacam ini perlu dibicarakan serius oleh teman-teman kaum muda yang berada di sana (di Adonara). Bagaimana pun itu, kaum muda adalah penerus, cikal bakal mewariskan nilai-nilai budaya , termasuk dengan ini. “Harus ada orang atau keluarga yang memulai sebagai contoh”, kata Gusti.
Saya mengatakan bahwa wacana semacam ini perlu dibicarakan serius oleh teman-teman kaum muda yang berada di sana (di Adonara). Bagaimana pun itu, kaum muda adalah penerus, cikal bakal mewariskan nilai-nilai budaya , termasuk dengan ini. “Harus ada orang atau keluarga yang memulai sebagai contoh”, kata Gusti.
Ini
merupakan salah satu titik temu dari pembicaraan lepas itu. Lantas bagaimana
dengan konflik komunal di masyarakat? Diskusi itu berpaling ke wacana awal yang
sedikit membias. Kami kembali ke haluan isu semula.
Saya
menyinggung kembali bahwa masyarakat kita sangat kental dengan ideologi
kesukuan. Karakter komunal. Satu orang yang punya masalah, yang lain juga ikut.
Ada juga yang ikut-ikutan. Dalam konteks perkara tertentu di satu sisi karakter
komunal dalam masyarakat menjadi sebuah perwujudan dari solidaritas,
kekompakan, kekeluargaan, koncoisme. Di lain sisi, ini menjadi boomerang yang
justru memperkeruh suasana. Masalah akan semakin meluas, karena melibatkan
orang-orang secara berjemaah.
“Masyarakat
seharusnya tidak mudah terbawah suasana. Kalau saya di sana, dan diajak untuk
terlibat dalam suatu konflik yang tidak jelas, saya tidak mau, terserah orang
mau bilang apa”, ujar Gusti.
Pendapat
itu direspon dari teman lain. “Masyarakat harus bisa melihat dengan jelih,
jangan sampai terprofokasi. Kalau pun masalah itu bermula dari kelompok kecil
atau individu tertentu, saya heran seperti apa doktrinisasi yang diberikan. Kok
bisa ia mempengaruhi begitu banyak khalayak”, tanggap Kalis.
Sementara
ada ucapan miris pun sengaja terlotar. Jangan-jangan ada orang mempelajari
kekuatan khusus untuk memberikan doktrin. Semacam “ilmu-ilmu kebal”. Gelak tawa
kecil sejenak mememecah suasana diskusi.
“Beberapa
desa lain juga memiliki potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa memunculkan
konflik, itu juga berkaitan dengan masalah tanah”, tambah Jabir.
Saya
kembali ke pokok diskusi. Di zaman sekarang, banyak masyarakat sudah mengenyam
dunia pendidikan. Pola pikir orang pun semakin berkembang. Potensi konflik yang
ada dalam masyarakat pun harus bisa direduksi sedemikian rupa agar tidak
membias.
“Saya pernah meyaksikan di media, di daerah lain seperti Sumatera. Terkait masalah tanah sengketa diambil alih oleh pemerintah. Tidak ada pertumpahan darah besar-besaran. Ini beda dengan di Adonara”, ujar Kalis.
“Saya pernah meyaksikan di media, di daerah lain seperti Sumatera. Terkait masalah tanah sengketa diambil alih oleh pemerintah. Tidak ada pertumpahan darah besar-besaran. Ini beda dengan di Adonara”, ujar Kalis.
Berbagai
potret konflik dari masa lampau hingga sekarang dibeberkan dengan leluasa oleh
teman-teman dalam diskusi. Ini menarik. Pendekatan dalam diskusi berkaca dari
berbagai contoh kasus. Beragam perspektif pun muncul.
Lantas
bagaimana orang sebagai kaum terpelajar melihat fenomena itu. Kita tinggal di
tempat yang jauh dari kampung halaman Adonara. Tidak menyaksikan secara
langsung keadaan yang ada di sana, termasuk mengenai konflik antar desa yang
pada dasarnya seringkali dipicuh oleh beberapa penyebab yang mendasar seperti
masalah tanah atau lahan. Selain itu juga berkaitan dengan kaum perempuan. Ini
dinilai lebih sensitif. Ada juga oleh kenakalan remaja yang menajdi-jadi. Ada
pula mis undestanding yang tidak mencapai kata sepakat.
“Masalah
seperti ini kalau tidak diperhatikan dan diantisipasi bisa berakibat fatal.
Konflik pun terus terjadi. Semakin meluas”, Ujar Jabir.
“Kita
sebagai mahasiswa harus bisa memberikan penyadaran kepada adik-adik kita yang
ada di sana (di Adonara). Semua persoalan harus bisa dibicarakan bersama untuk
mecari jalan keluar. Terutama bisa lewat keluarga”, tambah Hanes.
Semua
sepakat bahwa perluh adanya upaya kritis dari masyarakat pelajar maupun awam
untuk melihat jelih induk perkara yang menjadi pemantik munculnya api konflik.
Di belahan dunia manapun perang selalu mendatangkan kerugian. Selalu memunculkan krisis. Hubungan sosial menjadi renggang. Orang saling bermusuhan. Itu tidak baik untuk dipelihara. Saya pikir kami semua sepakat akan hal itu.
Di belahan dunia manapun perang selalu mendatangkan kerugian. Selalu memunculkan krisis. Hubungan sosial menjadi renggang. Orang saling bermusuhan. Itu tidak baik untuk dipelihara. Saya pikir kami semua sepakat akan hal itu.
Saya
mengatakan bahwa orang harus duduk dan berdialog. Tentu ada jalan keluar.
Sssruupp….ampas
kopi sudah semakin dekat ke permukaan. Berjam-jam saya larut dalam diskusi itu.
Ditegukan kopi yang terakhir saya pamit untuk pulang. Dua piring jangung titih
habis terlahap. Berbagai cerita dalam diskusi lepas itu membekas dalam benak
saat saya membunyikan sepeda motor untuk bergegas.
Ket:
Pernyataan setiap orang dalam diskusi itu saya tulis ulang dengan mengacuh pada
ide dasar dari pembicara. Ada dalam diskusi di kotrakan Gubuk Biru, Jogjakarta-
5 Juni 2013: Jabir Bebe, Asis Lewokeda, Kalis Rianghepat, Gusti, Hanes
Rianghepat.
Komentar