KEKERASAN TERHADAP KAUM PEREMPUAN DI NUSA TENGGARA TIMUR (Sebuah Konstruksi Gender Yang Keliru)

Oleh Ariz Hayon

I.   PENDAHULUAN
Problem tentang gender bukan lagi menjadi wacana asing bagi masyarakat NTT sebab permasalhan ini terus meningkat dari waktu ke waktu. Meskipun telah ada jaminan konstitusional, tetapi diskriminasi gender masih tetap terjadi, entah secara kultural maupun struktural. Secara fundamental, fenomena diskriminatif ini menunjukan bahwa, perempuan NTT masih mengalami ketidakadilan gender (gender inequalities) sebagai konsekuensi keterkungkungan dari pola kultural dan struktural dalam sistem masyarakat partiarkhi. Sadar atau tidak, hampir di banyak tempat di NTT, laki-laki lebih mendominasi dalam pelbagai macam aspek kehidupan. Misalnya, tentang status sosial, pengambil keputusan, urusan adat, agama, politik, pendidikan dan sebagainya. Fenomena ini memperoleh legitimasi kultural yang telah berlangsung lama, sehingga dominasi tersebut dianggap mapan dan tak tergoyahkan.

Konstruksi sosio-kultural yang bernuansa partiarkat ini kerap membawa dampak negatip bagi kaum perempuan.  Salah satunya adalah, aksi kekerasan terhadap kaum perempuan. Sadar atau tidak, fenomena dehumanisasi  ini meningkat secara signifikan dari hari ke hari dan kerap mendapat sorotan publik. Meskipun dalam ranah internasional, PBB melalui Komisi Perempuan telah mengeluarkan dan mendeklarasikan CEDAW[1] dan dalam ranah nasional, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan namun problem ini tak kunjung usai.

Sebagai respon terhadap fenomena dehumanisasi ini, penulis mau membedah aneka aksi kekerasan yang kerap menimpa kaum perempuan di NTT. Penulis mau mengkaji soal bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan atas dasar konstruksi gender yang keliru? Bagaimana dampaknya serta bagaimana solusi dan proses pendampingan yang diharapkan dari Lembaga Sosial Masyarakat yang menaruh perhatian pada korban kekerasan terhadap kaum perempuan di NTT?

II.  GENDER DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI NTT
2.1. Gender Dalam Ranah Kehidupan Masyarakat NTT
Secara fundamental, term gender senantiasa berkaitan dengan kebiasaaan, harapan, adat dan tradisi yang melekat pada suatu kultur tertentu, yang merupakan pembeda tugas dan peran sosial laki-laki dan perempuan.[2]. Ia juga diartikan sebagai  sifat-sifat atau kekhasan yang dikaitkan dengan masing-masing seks, entah sebagai laki-laki atau perempuan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, gender merupakan konstruksi atau ciptaan masyarakat atau kebudayaan. Sebagai anggota masyarakat, seorang pria disosialasikan sebagai seorang laki-laki menurut kebudayaannya dan sebaliknya untuk seorang wanita.[3] Secara singkat, gender merupakan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan  yang dibangun sedemiikan rupa sehingga adanya  pembedaaan antara tugas dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan kultur tertentu.

Pembagian tugas dan peran ini terjadi pula  di wilayah NTT  ini. Dalam level praktis, perempuan NTT kerap ditempatkan pada posisi yang kedua dan tak mempunyai hak apapun sebagaimana kaum laki-laki. Seorang laki-laki dihubungkan dengan hal produktif yang menghasilkan uang dan seorang perempuan lebih pada reproduksi yang berurusan dengan mengasuh anak, mengurus rumah tangga, dan sebagainya.[4]

Jika dikaji secara intens dan signifikan, kuatnya kultur partiarkhi dalam ranah kehidupan masyarakat NTT kerap menyingkirkan intervensi perempuan dalam penentuan kebijakan. Patriarkat yang berarti kekuasaan bapak dan semulanya berlaku dalam ruang lingkup keluarga, telah bergeser dan mendepak cara berpikir masyarakat NTT pada tatanan yang lain. Dalam alur kehidupan masyarakat NTT, hampir sebagian besar cara berpikir patriarch telah mengakumulasi dan memposisikan kaum perempuan sebagai subordinasi laki-laki.

Di  NTT, diskrimanasi gender kerap menyiratkan aspek dehumanisasi, di mana kaum laki-laki masih diakui dan dikukuhkan sebagai semacam penguasa perempuan. Relasi laki-laki dan perempuan yang bernuansa hierarkis dan bukan sebagai partner, dianggap benar. Banyak hal menyangkut keputusan dan kebijakan bersama, kerap menjadi urusan laki-laki, sedangkan kaum perempuan hanya siap untuk  menjalankan keputusan dan kebijakan tersebut. Pembagian kerja, fungsi serta relasi antar manusia berdasarkan seks, masih terus diwariskan dari generasi ke generasi hingga membentuk berbagai konstruksi sosial dalam masyarakat.

Dalam pelbagai macam hal, kaum laki-laki selalu ditampilkan sebagai orang yang lebih bertanggungjawab, yang berkompeten. Sedangkan kaum perempuan ditampilkan sebagai orang yang menggantungkan harapannya pada laki-laki, kurang trampil dan menjadi obyek seks. Hal yang sebenarnya bernuansa penjajahan dan penindasan, dikemas secara rapi sehingga dianggap sebagai sesuatu yang kodrati. Cara berpikir demikian telah menghegemoni dalam atmosfer kehidupan masyarakat NTTsehingga dianggap wajar dan  alamiah.

Banyak pihak dalam kultur masyarakat NTT, masih terkungkung dalam kultur tradisional bahwa semacamnya ciri-ciri perempuan dan laki-laki telah terkunci mati. Ia telah dibakukan oleh tradisi yang telah berlangsung selama bertahun tahun bahkan berabad-abad, sehingga dianggap sebagai kodrat yang tak dapat diubah. Masyarakat NTT terdepak dalam pola umum bahwa,  perempuan akan menjadi “manusia yang tidak pantas” jika ia berusaha keluar dari pengkotakan tersebut.

Konsekuensinya, kaum perempuan NTT akan disalahkan, jika tidak memenuhi kehendak sosial yang sudah mapan serta pemenuhan akan label identitas yang telah diciptakan. Keterpurukan posisi semacam itu akan mematikan potensi, keunggulan serta jati diri perempuan NTT sebagai manusia. Perbedaan gender yang dialami dalam kultur NTT, sebenarnya sedang  menciptakan fenomena diskriminatif dengan pihak perempuan berada pada posisi dirugikan. Perbedaan hak berdasarkan seks (sex equality) yang melahirkan posisi hierarkis dalam kultur masyarakat NTT, sebenarnya menghasilkan posisi dan relasi yang bersifat superior dan inferior. Perbedaan yang mencampuradukkan antara seks dan gender, akan menjadikan perempuan NTT sebagai kelompok tersendiri dalam masyarakat.

Masyarakat NTT masih menganggap bahwa, pembedaan tugas dan peran ini merupakan sesuatu yang alamiah atau berasal dari kodrat yang menempatkan  laki-laki sebagai orang yang mempunyai pekerjaan yang bernilai sedangkan perempuan tidak. Hal ini seakan telah menjadi hal yang lumrah dan senantiasa diteruskan ke generasi yang berikutnya bahkan telah menjadi Streotipe dalam masyarakat bahwa, kaum perempuan adalah makhlik yang lemah sedangkan kaum laki-laki merupakan makluk yang kuat.

Secara eksistensial, dalam ruang lingkup masyarakat Lamaholot, kaum laki-laki seakan dinobatkan sebagai pemegang kunci kekuasaan, sementara kaum perempuan berada di bawah bayang-bayangnya. Fenomena dehumanisasi ini secara tidak langsung mau melanggengkan dikotomi maskulin dan feminin, serta melegitimasi superioritas kaum laki-laki atas kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hak bersuara.

Aneka fenomena dehumanisasi dalam kehidupan masyarakat NTT  teristimewa pembagiaan tugas dan peran berdasarkan jenis kelamin masih terus menghegemoni. Meskipun ada usaha untuk menghapus problem ini demi kesetaraan dalm masyarakat, namun sangatlah sulit sebab hal ini telah menghegemoni atau telah menjadi tradisi, adat, dan kebiasaan dalam kehidupan setiap hari hingga menyebabkan kaum laki-laki merasa diri lebih berkuasa ketimbang kaum perempuan. Kaum perempuan lebih dilihat sebagai obyek dalam setiap tindakan.

2.2. Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan Di NTT Sebagai Akibat Dari Konstruksi Gender
Kata kekerasan diartikan  sebagai   perbuatan seseorang atau sekelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain[5]. Selain itu kekerasan  juga  merupakan perbuatan yang terjadi dalam relasi manusia, baik individu maupun kelompok, yang dirasa oleh salah satu pihak sebagai satu situasi yang membebabani, membuat berat, tidak menyenangkan, tidak bebas. Hal ini membuat orang lain sakit, baik secara  fisik  maupun  psikis serta rohani.[6] Singkatnya, Kekerasan pada dasarnya merupakan bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang dilakuakan oleh seseorang atau kelompok orang terhadap seseorangau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.[7] Tindak kekerasan  dengan efek negatif  seperti ini dirasakan pula oleh kaum perempuan di NTT.

Dalam kehidupan masyarakat NTT hingga saat ini terdapat pembedaan tugas dan peran sosial pada kaum laki-laki dan perempuan yang masih sangat kental. Laki-laki dilihat  sebagai seorang yang kuat, tegas, sedangkan perempuan sebagai seorang yang lembut, manja, dan dilahirkan dengan status yang lebih rendah dari kaum laki-laki. Atas dasar inilah, laki-laki merasa dirinya sebagai orang yang berkuasa dan kaum perempuan dilihatnya sebagai kaum yang lemah dan tak berdaya. Dengan demikian kaum laki-laki mempunyai banyak keuntungan dibandingkan dengan kaum perempuan sehingga kaum laki-lakipun menjadikan kaum perempuan sebagai obyek atau sasaran dalam berbagai tindak kekerasan seperti yang terjadi hingga saat ini.

Dari data yang ditemukan nampak bahwa,  aksi kekerasan terhadap kaum perempuan di NTT sangat signifikan yakni 1.406 kasus yang terjadi sejak tahun 2006 hingga 2010. Kekerasan tersebut dibagi dalam empat kategori yakni kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, kekerasan buruh migran atau traficing, kekerasan pasca perkawinan.[8]

JIka dikaji secara intens, aksi kekerasan ini membawa ekses negatip yang cukup besar bagi kaum perempuan, entah secara fisik maupun psikis. Dampak fisik misalnya, luka pada tubuh koban, gangguan pada organ reproduksi seperti infeksi, kerusakan selaput darah. Sedangkan dampak psikis yang dialami oleh korban kekerasan ini yakni korban merasa marah, jengkel, malu, terhina, dan berakibat lanjut pada kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, lupa ingatan.[9]

Untuk mengatasi problematika semacam ini, dibutuhkan suatu penanganan yang serius agar problem kekerasan terhadap kaum perempuan dapat  teratasi walau tak secara serentak tetapi sekurang-kurangnya bisa meminimalisir problem ini baik kepada korban kekerasan atas dasar perspektif gender maupun pelaku serta kepada masyarakat pada umumnya. Secara kuratif, perlu adanya pendampingan yang intens terhadap korban kekerasan, dalam hal ini kaum perempuan. Dan terhadap pelaku dalam hal ini kaum laki-laki yang melakukan tindakan kekerasan, perlu adanya sanksi hukum yang tegas menurut Undang-Undang yang berlaku di agar dapat memberikan efek jerah. Secara prefentif, perlu adanya sosialisasi dari pihak-pihak terkait tentang problem kekerasan gender agar publik dapat memperoleh pemahaman yang cukup tentang problem dimaksud. Misalnya, Lembaga Sosial Kemasyarakatan yang menggeluti bidang Gender atau Kaum Perempuan seperti Rumah Perempuan di Kupang, TRUK-F (Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores) dan KIAS (Komunitas Indonesia Untuk Adil dan Setara) di Maumere dan berbagai Lembaga kemanusiaan lainnya.

Pendampingan yang diberikan hendaknya memberikan penyadaran dan penguatan kepada kaum  perempuan sebagai korban dengan  sesuai prinsip-prinsip fundamental dalam konseling  berwawasan gender yang cocok juga untuk korban kekerasan di NTT. [10] Pertama, Asas tidak mengadili (Non-judgement). Maksudnya, korban tidak dipersalahkan, tetapi memberikan dukungan mental. Konselor hendaknya menyusun formulasi kalimat dalam membimbing koban ini sedemikian hingga tak menimbulkan perasaan bersalah dari korban sendiri.

Kedua, Membangun hubungan yang setara antara Koselor dan Klien. Maksudnya, secara bersama-sama mencari solusi atas problem yang sedang dihadapi oleh klien dan bukan bertindak sebagai konselor yang mempunyai kuasa sehingga apapun yang dikatakan harus diikuti oleh klien.

Ketiga, Asas pengambilan keputusan, maksudnya mengupayakan agar koban menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya sehingga kemudian dijadikan modal bagi keputusan yang akan dibuatnya sendiri dengan melihat pula resiko-resikonya.

Keempat, Asas pemberdayaan yang dilakukan dengan menyadarkan korban akan budaya yang memendang laki-laki sebagai makluk yamg lebih berkuasa dibandingkan perempuan sehingga kaum perempuan sering mendapat kekerasan, memberikan informasi kepada  korban tentang bagaiman menyikapi perilaku kekerasan yang dialaminya  serta informasi tentang hak-hak yang dimiliki sebagai korban kekerasan, memberikan dukungan kepda korban  dalam menghadapi situasi sulit sampai dengan menemukan kembali kepercayaan dirinya, membantu memberikan pertimbangan dalam pembuatan keputusan terutama korban dalam situasi kalut.

Kelima, Menjaga rahasia, maksudnya segala persolan yang telah disharingkan bersama tak boleh diceritakn kepada siapapun kecuali kepada pihak yang berwajib dalam rangka penyelidikan kasus selanjutnya tetapi tetap menjaga harga diri sang korban sehingga ia tak merasa tersinggung. Kelima prinsip pendampingan ini merupakan sebagian dari berbagai  prinsip yang digunakan oleh konselor dalam hal ini Lembaga Sosial Masyarakat yang membimbing dan mengarahkan para korban untuk pulih dari berbagai dampak yang diperoleh pasca kejadian yang menimpah mereka.

III.  PENUTUP
Pola kekerasan mewarnai setiap ranah kehidupan manusia dari waktu ke waktu, dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Manusia terus saja terjerumus dan terperangkap dalam aneka aksi kekerasan yang mengorbankan orang lain. Jika term ini diperhadapkan dengan realitas konkrit hidup manusia, teristimewa dalam konteks masyarakat NTT yang berkultur patriarkhat, maka nampaknya bahwa, masyarakat lamaholot masih terkungkung dalam kultur patriarkhi di mana etos paternalisme masih menjiwai dan mendominasi seluruh bidang kehidupan manusia. Kebenaran kehidupan kerap menjadi monopoli kaum laki-laki dan tak pernah menjadi wacana urgen untuk dibicarakan bagi dunia kaum perempuan. Fenomena dan tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan masih terus terjadi. Tindakan kekerasan tersebut sesungguhnya menodai keluhuran martabat kaum perempuan NTTsebagai Citra Allah yang memiliki kesetaraan yang sama dengan kaum laki-laki. Dalam kehidupan setiap hari, tak jarang, kaum perempuan NTT menjadi obyek kekerasan dan diskriminasi seperti, penganiayaan, pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan sebagainya. Secara hakiki, semua tindakan kriminalitas ini mengabaikan hak asasi manusia kaum perempuan NTT.

Agar fenomena dehumanisasi ini tidak terus menghegemoni dalam ruang lingkup masyarakat Lamaholot, maka perlu suatu gebrakan yang signifikan. Semua elemen mesti menyadari diskriminasi ini dan berusaha untuk mengembalikan eksistensi dan citra diri kaum perempuan dalam relnya yang benar. Setiap orang teristimewa masyarakat NTT, mesti menyadari dusta sejarah agama dan dusta sejarah kultural, di mana profil perempuan baik secara fisiologis maupun  psikologis, ditempatkan pada ranah kehidupan yang keliru.

Setiap orang mesti menyadari bahwa dunia manusia bukan semata-mata dunia kaum laki-laki, melainkan juga dunia kaum perempuan. Eksistensi kaum perempuan dengan segala kekhasan dan keistimewaannya memberikan sumbangsih tersendiri agar dunia manusia sungguh menjadi seimbang. Ada bersama sebagai perempuan dan laki-laki mencerminkan suatu kebersamaan yang bersifat melengkapi satu sama lain. Dalam ada bersama dan dibarengi dengan sikap saling memberi, mengisi dan melengkapi, laki-laki dan perempuan hadir untuk mendandani dunia tempat mereka berada. Dalam dunia, manusia sebagai laki-laki dan perempuan dapat memaknai diri serta eksistensinya. Di sini nampak jelas bahwa, laki-laki dan perempuan saling mengadakan dan memberi makna bagi hidup dan eksistensinya. Dengan itu, tidak ada alasan bagi suatu kultur tertentu yang membantah kesederajatan posisi dan kedudukan kaum laki-laki dan perempuan alam suatu masyarakat. Menutup tulisan ini, penulis ingin mengutip apa yang ditegaskan Matthew Henry, “Hawa bukan diambil dari kaki Adam untuk menjadi budak beliannya, bukan juga dari kepalanya untuk menjadi tuannya. Melainkan dari sisinya untuk menjadi temannya, di bawah lengannya supaya terlindung dan dekat jantungnya untuk dikasihi”.


DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Nunuk, A. P. Murniati. Getar Gender (Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Poltik, Ekonomi, Hukum, dan HAM). Magelang: Yayasan IndonesiaTera, 2004.
Nur, Elli Hayati. Panduan untuk Pendampingan Permpuan Korban Kekerasan- Konseling Berwawasan Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa, 2000.
Raho, Bernard. Sosiologi  Sebuah Pengantar. Maumere: Ledalero, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indoesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
B. Internet


[1] Elli Nur Hayati, Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan (Yogyakarta: Rifka Annisa, 2004), hlm. 247.  CEDAW (Convention on the Elimination All of Forms of discrimination Aganist Women) merupakan sebuah  konferensi  Perempuan Sedunia I , di Mexico  yang menghasilkan peraturan mengenai hak-hak perempuan dan menghapus diskriminasi terhadap kaum perempuan pada tahun 1974
[2]Ibid., hlm. 19-20.
[3]Bernard Raho, Sosiologi - Sebuah Pengantar ( Maumere: Ledalero, 2008 ), hlm. 105.                       
[4] Elli Nur Hayati, Op. cit., hlm. 25.
[5] Kamus Besar  Bahasa Indonesia, Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta:Balai Pustaka,1990), hlm. 425.
[6]A. Nunuk P. murniati, Op. cit., hlm. 223.
[7]Ibid., hal. 28.
[8]Apolonia Matilde Niu, Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di NTT, Laporan Wartawan Pos Kupang, (Online), 12 Mei 2011, 2011. (http:// Kupang.tribunnews.com/read/artikel/62124/1406-kasus-kekerasan-perempuan-di-ntt, diakses 13 Desember 2011)
[9]Ibid.
[10]Elli Nur Hayati, Op. cit., hal.58-71.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA

"BEKU” SANG NAGA LAUT YANG PERKASA (Bagian 1)

PREMANISME POLITIK SEBAGAI KETIDAKDEWASAAN BERPOLITIK