TRANSFORMASI DAN SOSIOLOGI PEDESAAN

Oleh: Petronela Somi Kedan

A.   Adonara Idyll-Anti Idyll

Salju kedua di bulan Desember, sebenarnya sudah cukup ampuh untuk meluluh lantakkan mataku supaya bersembunyi di balik selimut putih yang selalu kelihatan anggun dan mempesona.

Dingin dan beku, bukan cuacanya, tetapi otakku,,,kalau ada masanya hangat adalah ketika pergi mengingat masa menunggui mamak membuat ramuan ajaib jahe, bawang putih dan madunya yang selalu membuat perut dan duniaku hangat. Atau hura bakar mamak tua1 yang selalu membuatku autis dan tak kenal dunia lain selain Lamaleka dan sambal belewa mamak tua-tua yang selalu membuat sebaskom nasi putih hangat ludas dalam sekejap oleh ku seorang yang sangat bijaksana ini (makin ngelantur),,,, brrrrrrrrrrr

Apa boleh buat untung tak dapat di raih, malang tak dapat di tolak, ujian tak dapat di hindari, ingin rasanya kabur dari ujian periode ini, sebagian karena trauma ujian dan sebagian karena alasan ideologis yaitu; males,,,hayah ^_^. Malam ini, satu lagi peristiwa bersejarah terjadi, jumlah bacaan ku yang melebihi bacaan komik dan novel yang pernah ku baca, kira-kira 150 lembar baru saja selesai ku lumat. Bacaannya tentang “transformasi dan sosiologi pedesaan.”

Belakangan ini sebenarnya jadi mata kuliah favorit, bukan apa-apa, cuma karena dosennya bisa berbahasa Indonesia, tetapi itu baru terakhir-terakhir ini. Sebelumnya aku tak suka dosennya, karena dosen pertama yang mengajar masuk ke kelas dan dengan gagah berani menyebut kan desa yang karakteristiknya ; pertanian, kealamian dan keliaran itu adalah abstrak (Cloke, Perkins 1998).

"muke gile, lu pikir gw lahir, besar dan nyari hidup dimana selama ini? Diasbtrak?"

Tentu saja ucapan itu hanya ku pendam di dalam hati yang akhirnya jadi jerawat batu dan tulisan ini. Tapi itu kesan pertama, kesan selanjutnya "kosong" karena gak ngerti dosennya ngomong apa, bahasa inggris seh hahahahah coba kalo bahasa lamaholot ato bahasa sunda, go tetap menge hala ibu guru ^_^.

Salah satu topik yang dibicarakan di mata kuliah ini adalah tentang:

Image Desa dan Identitas yang Diperebutkan

Ada beberapa tulisan dalam topik ini, diantaranya;
Bell(2006) memfokuskan tulisannya pada desa ideal (rural idyll; kupikir terjemahan ke desa ideal juga belum terlalu pas, tapi aku tak sanggup lagi menterjemahkannya) - image positif dan indah tentang desa - dan juga anti-ideal desa (anti-idyll) yang merupakan hal-hal yang bukan desa ideal.

Itu artinya ketika menyebutkan kata Adonara ada sejumlah karakteristik terkait Adonara ideal paling tidak meloncat-loncat di otak kita misalnya; hura, beloma, jagung bose, watak kenae, sole tentunya, hedung, dan kebun yang subur meskipun kering. Dan anti-idealnya bisa jadi kekerasan terhadap perempuan, sikap kasar, perang antar suku dan egoisme.

Nah menurut ama Bell ini, image tentang desa ideal/ Adonara ideal ini secara sosial di konstruksikan oleh; pengalaman dan ingatan pribadi, pengetahuan, cerita atau dongeng, imajinasi, narasi dan publikasi media misalnya lagu-lagu, film dan lain-lain. Maka yang kita lakukan; mempublikasikan foto-foto Adonara, video dan tulisan tentang Adonara, perilaku kita dan komen-komen kita di FB merupakan kepingan - kepingan kisah yang akan membentuk Adonara ideal atau anti-ideal dimata internal anak Lewotana dan di mata external. Jadi hati-hati kalo mau posting fotoku, takutnya orang luar ngira Adonara itu isinya bidadari semua (aduuh gila ku kumat lagi heheheh). Artinya kemudian bukan hanya alam dan atribut budaya Adonara saja tetapi setiap kita adalah representasi dari ideal atau anti-ideal Adonara.

Sampai disini kayaknya gak perlu S2, kakek gw juga tau kali "pana di koon Adonara pana, tobo di koon Adonara tobo"

Untuk apa bicara desa ideal ini?

Ada banyak booookkkk alasanyah;
Menurut ina Garcia (2005) di dalam desa ideal ini terkandung "identitas asli" nah, dalam tulisan nya, ia mengisahkan bagaimana dengan mengidentifikasi desa ideal ini penduduk sebuah desa di Peru mengetahui bahwa bahasa asli mereka mulai punah. Kemudian intelektual desa dengan dukungan pemerintah dan LSM di Peru mulai mengembangkan program reformasi pendidikan dengan menerapkan pendidikan dwi-bahasa (bahasa daerah-Quechua- dan bahasa national-Spanyol-) hal ini untuk mencegah kepunahan bahasa asli mereka. Dengan melibatkan teknologi, training dan juga perang ideologi bahwa menjadi pribumi berarti juga menjadi modern. Yaaaa,,, tentunya dengan berbagai pertentangan horizontal dan vertikal.

Sementara itu penduduk Xoco Indian di pulau Sao Pedro menggunakan identitas asli mereka ini untuk merebut hak pribumi mereka atas tanah yang dikuasi oleh tuan tanah. Karena buat mereka Indian tanpa tanah itu bukan Indian namanya(French 2009).

Ada juga cerita dari Monique Nuitjen (2010) (dosen cantik yang baik hati, aku mengagumi tulisan dan orangnya karena dia selalu memberiku nilai nyaris 10-jumawa.com, dan kalau memberi tugas, pertanyaannya tidak berbelit-belit seperti ular tangga), ceritanya masih di Amerika Latin, tentang "identitas asli" yang di gunakan untuk memperjuangkan hak asasi, karena menjadi berbeda adalah hak asasi setiap manusia.

Bagaimana mengetahui desa ideal dan identitas asli ini?

Reto Solivia (2007) melakukan penyusunan terhadap narasi desa ideal di pegunungan Alpen Swiss. Ia melakukan wawancara dengan beberapa individu tentang desa ideal, menulisnya, mengelompokkan dan menganalisa nilai yang melatar belakangi nya lalu melakukan diskusi kelompok terfokus, menulisnya dan menganalisanya lagi sampai kemudian ia menuliskan empat buah narasi tentang pembangunan di tempat ini.

Sementara itu, Halfacree (2006) mengusulkan pendekatan segitiga untuk mempelajari desa dengan menganalisa tiga hal; localitas desa (proses produksi dan konsumsi), representasi formal (birokrasi dan politik), dan kehidupan keseharian di desa (budaya).

Bisa juga dimulai dengan cara sederhana "bertanya" seperti yang dilakukan pastor Frei Enoque di Peru (French 2009). Dengan bekal teologi pembebasan yang ia punya, ia mulai bertanya kepada masyarakat sekitar, siapa mereka dan apa yang dulu mereka punya dan yang seharusnya mereka punyai kemudian disusul dengan analisa dokumentasi sejarah, pengumpulan bukti kepribumian, class action dan berakhir dengan reformasi tanah.

Maka kemudian, pertanyaan reflektif yang agak malas ku jawab sendiri adalah; apa artinya menjadi seorang Adonara? Apa identitas asli Adonara? Bagaimana Adonara dahulu-sekarang- dan bagaimana ia sebaiknya di masa depan?

Tiga pertanyaan sederhana nyaris norak diatas dapat membantu kita memetakan dan menginventarisir Adonara Idyll dan Anti-Idyll Adonar

B.   Adonara dan Migrasi

Masih dalam edisi hantu jembatan akar ^_^ alias Transformasi dan Sosiologi Pedesaan. Besok ujian dan hari ini aku sudah bertekad menyelesaikan membaca artikel, merefleksikannya dan menuliskannya - baca; membakar artikelnya, merebus dan meminum airnya-untuk mendapatkan hak atas kalimat sakti itu sebelum melangkah ujian besok pagi, kalimat yang sudah di ajarkan dari orok oleh laki-laki terhebat dalam hidup ku "Bapak". 

"Lewotana Adonara Pana Molo Go Dore" 

Identitas desa bukan sesuatu yang absolut. Menurut dosen ku ibu Leontin (dosen canggih yang bisa bahasa Indonesia dan kalau kau tak punya argumentasi kuat sebaiknya tak mencari masalah dengannya atau kau akan di sulap menjadi kepiting rebus saat itu juga, gak pake lama); ada dua identitas pada diri setiap orang, identitas inti yang di bawa dari lahir dan identitas yang berubah seiring perubahan yang terjadi di sekitarnya. Hal ini juga berlaku untuk desa, identitas desa ada yang asli dan tak bisa dirubah, yang membedakannya dengan kota atau desa lain, tetapi ada juga identitas desa yang berubah akibat persentuhan dengan desa lain atau kota. Salah satu aktifitas yang merubah desa adalah; Migrasi ^___^ *senyum-senyum sambil menyadari diri sebagai migrant*  terkait topik berikut ini: 

Migrasi dan pertemuan desa dengan kota 

Migrasi di Adonara bukan hal baru, karena beberapa cerita kuno menyebutkan bahwa ada beberapa suku yang mengaku bahwa mereka adalah suku pendatang. Dalam hal ini, migrasi yang di bicarakan menyangkut perpindahan penduduk baik dari desa ke desa, dari desa ke kota, dari kota ke kota atau dari kota ke desa dalam lingkup sebuah negara atau antar negara. Berikut ini beberapa hal terkait migrasi ;

Faktor pendorong migrasi 

Berbeda dengan Brown (2009) yang menggaris besarkan semua faktor penyebab migrasi kedalam; globalisasi, kemajuan teknologi khususnya transportasi, dukungan keluarga, penuaan populasi dan ketidakseimbangan ekonomi, Lightfoot (2005) yang mengambil kasus di Turki, pada tulisannya mulai mengelompokkan faktor penyebab migrasi ke dalam faktor pendorong dan penarik (bahasa Lamaholot nya push and pull factor). Faktor pendorong adalah faktor yang mengakibatkan seseorang kabur dari tempat asalnya, misalnya; kemiskinan di desa (faktor ekonomi), reformasi tanah atau revolusi hijau yang membuat posisi petani menjadi sulit atau karena konflik maupun ancaman terorisme. Ditambahkan Monique (2004), migrasi juga bisa di dorong oleh; tidak adanya kesempatan kerja, pembuktian kedewasaan (seperti tradisi merantau di Padang) dan karena semakin tersedianya jaringan sosial yang menyediakan informasi tentang migrasi.

Untuk kasus Adonara misalnya karena kekeringan ladang, dan profesi petani yang mulai gak ngetrend,,,,kamsudnya kegiatan berkebun yang dianggap sudah tidak menghasilkan, bisa juga karena tidak semua orang punya tanah di lewo dan juga karena semakin tersedianya informasi tentang daerah-daerah tujuan seperti Malaysia dan Batam, itu untuk migrasi dari desa ke kota. Kalau migrasi dari desa ke desa ada kakekku Kopong Teron yang ganteng yang migrasi dari desa Redong ke Lamaleka yang jauh di atas bukit ^_^ yang kabarnya, alasannya bermigrasi adalah untuk "sebak watak bele" (masih perlu pembahasan khusus, karena selain konflik, sebak watak bele adalah satu kalimat kuno sederhana yang mendasari setiap orang di Adonara untuk merantau dan sepertinya kalimat ajaib ini merangkum semua pendapat ahli di atas tadi). Untuk contoh migrasi kota-kota dan kota-desa saya serahkan sepenuhnya contoh dan analisanya pada pembaca (udah mulai bete dengan keyboard).

Faktor berikutnya, faktor penarik, adalah faktor yang dimiliki kota atau tempat tujuan yang membuat orang tertarik untuk datang mendekatinya bagai kumbang mendekati bunga (hedewwwwhhhh, exam syndrome; dimulai dengan puitis dan berakhir dengan tragis). Diantara faktor tersebut adalah keinginan untuk ikut menikmati serpis publik di tempat tujuan berupa kesehatan dan pendidikan.

Aktor penarik lainnya adalah; industrialisasi di kota yang menciptakan lapangan kerja, kesempatan untuk meraih rupiah dan yang paling sering terjadi seperti di Adonara adalah karena adanya kenalan atau keluarga yang sudah sampai di tempat tersebut dan kehidupannya dilihat menjadi lebih baik, paling tidak bisa hidup lah ^_^. Yang pasti, orang tidak bermigrasi hanya untuk narsis-narsissan atau cuma untuk melihat salju (dalam hati; guweeeeeeee bangetttttttttttttthhhhhhhh), terutama kami putra dan putri bangsa Indonesia ini, tambah satu India gak jelas yang ngefans berat sama Palembang: 

Pengaruh migrasi 
Migrasi baik di tingkat desa, lokal maupun internasional memberi efek bagi daerah asal, diantaranya adalah;

Dalam bidang ekonomi, migran memberikan sumbangan berbentuk devisa atau tambahan pendapatan terhadap keluarga di kampung halaman. Ada juga dampak ekonomi yang buruk, ketika migrasi sudah mulai menumpuk di satu tempat sementara pekerjaan dan penghidupan jadi malah makin maju mundur gak jelas, maka terciptalah apa yang di sebut Karpat (1976) sebgai shanty town dan daerah kumuh. Keduanya sama-sama menggambarkan kemiskinan, hanya bedanya di daerah kumuh seperti banyak kita jumpai di Jakarta itu sudah tidak ada lagi harapan untuk maju, karena miskin sudah membudaya dan membudidaya.

Pengaruh lain migrasi adalah pertemuan budaya yang terjadi yang di bawa orang yang kembali dari bermigrasi (Monique, 2004), misalnya; anak-anak rantau yang pulang dari kota besar datang masuk kampung pakai celana pancing yang super pendek, atau keengganan mengkonsumsi makanan lokal. Nah, pertemuan budaya ini bukan hanya menciptakan sport jantung orang-orang tua di kampung, karena bukan cuma soal celana yang di pancing tetapi merupakan representasi dari pergeseran nilai-nilai yang tadi nya sudah dengan keringat darah di tanamkan orang tua yang tiba-tiba memuai di makan modernisasi (nah kumat lagi puitisku). Perang budaya ini bukan cuma terjadi di tempat asal saja, tetapi juga di tempat tujuan. Nah, untuk yang ini, aku sudah berpengalaman, tak ada pisang rebus, tak ada pepayaaaaaaaaaaa,,,hellowww di Lamaleka makan pagi dan siang ku pepaya bulat-bulat ku telan, disini sudah sembilan bulan tak juga kelihatan tanda-tanda pepaya (lha,,,jadi curhat) ^__^.

Nah, terhadap pertemuan budaya ini ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi; 
Pertama; budaya lokal memaklumi budaya pendatang atau budaya pendatang menyesuaikan dengan budaya daerah tujuan dan akhirnya terjadi asimilasi, contoh perubahan seperti ini ada pada transnasional migrasi (migrasi antar negara) yaitu terbentuknya identitas turunan dari identitas lama (Kearney, 2000). Misalnya orang-orang Oaxacan (Amerika Latin) yang pindah ke California yang kemudian menyebut diri sebagai Oaxocalifornia karena identitas mereka sudah tidak lagi murni Oaxacan tetapi sudah mendapat pengaruh tradisi di California. Dalam kasus Adonara hal seperti ini terjadi pada diri anak-anak yang tidak lahir di Adonara tetapi orang tua mereka berasal dari Adonara (curhat lageee), tidak bisa bahasa Lamaholot, tidak bisa kalau nasi diganti jagung titi, tidak bisa sole tapi ngotot jadi anak Adonara, atau menyebutnya dengan kalimat panjang; saya lahir di bla bla bla tetapi orang tua saya aslinya bla bla bla, dan saya lebih senang di sebut bla bla bla dan bla bla bla dan bla bla bla -___-''

Kemungkinan kedua di ajukan oleh Schiller (2004); terciptanya sebuah identitas global baru,,,,begini ceritanya; orang-orang Africa yang merantau ke Jerman mengalami diskriminasi sebagai penduduk di negara tersebut, mereka kemudian bergabung dengan sebuah gereja dan dengan etnis lain, nah dari gereja ini mereka kemudian menyatakan diri bukan lagi dalam etnisitas tetapi sebagai sesama pengikut kristus.

Dan kemungkinan ketiga adalah hilangnya desa, ini pernyataan yang paling bikin ngeri dari ibu Leontin. Ketika migrasi terjadi, orang-orang berpindah keluar negaranya, identitas baru terbentuk, maka terwujudlah apa yang disebut (Bell, 2006) bahwa desa hanya ada dalam imajinasi karena identitas mereka sendiri sudah tidak lagi asli dari desanya dan mereka juga sudah tidak lagi memiliki tanah dengan identitas desa yang asli tersebut. Keadaan ini juga kemudian hanya akan semakin mengukuhkan pendapat Copp (1972) bahwa desa dan perekonomian desa itu tidak ada. Contohnya Israel, tetapi contoh bagusnya ada Yunani, jadi tenang,,,,,Yunani adalah negara yang terbentuk dengan mendapatkan tanah dari PBB, tentunya setelah mereka bisa membuktikan identitas pribuminya dan hak pribumi mereka terhadap tanah tersebut.

Kemungkinan lain, yang herannya tidak disebutkan di dalam kuliah ini adalah kemungkinan perang antar etnis yang terjadi di daerah tujuan migrasi seperti konflik antar etnis di Jakarta atau Batam, padahal sama-sama pendatang lho.

Jadi makin jelas sekarang, bahwa identitas yang terbentuk di desa itu dapat kita bawa kemana-mana sampai menyeberangi lautan dan tetap dapat di jalankan dan digunakan untuk mendapatkan penghormatan atas harkat hidup orang ber-identitas. Identitas itu juga saling bersentuhan dengan identitas lain yang membuat kemungkinan perubahan dapat terjadi. Misalnya; beberapa kemungkinan perubahan yang mulai di bicarakan tentang Adonara; kembali ke pola pemerintahan Lewo (ini mungkin saja, toh di atur oleh perda, seperti di Padang ada Perda Nagari) atau pembicaraan - pembicaraan tentang belis yang dilihat oleh beberapa orang harus di sesuaikan dengan keadaan saat ini, atau juga pembicaraan soal pertanian di Adonara.

Nah, sampai disini dulu ,,,capek ngetik neh *_*


C.   Desa dan ketidakadilan, modal sosial, neo-endogenous, tengkulak dan anti-politik

Akhirnya sampailah kita di topik yang buatku sangat sulit dan hade hipo karena melibatkan beberapa hal baru dan membuat bolos dari kelas semakin sulit di.

Ketidakseimbangan Pembangunan, Modal Sosial dan Kebijakan

Topik ini bicara soal Ketidakadilan yang di alami desa, diantaranya adalah ketidakseimbangan pembangunan geografi, nah diantara kejadian norak ketidakadilan ini ada kekuatan desa yang di sebut modal sosial yang menentukan apakah desa tersebut bisa berhasil atau tidak, bahkan go international karena ada istilah baru yang disebut neo endogenous (intinya mah, ini soal identitas asli desa yang sudah dikembangkan dengan menggunakan modal sosial dan dukungan internasional) ada juga soal tengkulak yang memanfaatkan situasi, dan soal gerakan anti-politik sebagai bentuk protes masyarakat. Mari kita mulai satu persatu;

Ketidakseimbangan pembangunan geografi ini terkait pelecehan yang di lakukan kota terhadap desa (ceileh), penulis David Harvey (2006) adalah seorang geograher marxist, jadi maklum saja kalau di tulisannya dia sampai berbusa-busa menyerang kapitalis sebagai otak di balik kemerosotan dan ketidak seimbangan yang dialami desa. Argumentasinya lumayan masuk akal, menurutnya beberapa kondisi dimana kapitalis menyebabkan ketidakseimbangan pembangunan geografi adalah; penanaman ide kapitalis di dasar lubuk hati setiap insan sehingga di jaman edan ini semua harus di hargai dengan duit, perampasan sumber daya; alam dan manusia-alamnya dieksploitasi dan manusianya di jadikan kelas buruh-, akumulasi waktu dan ruang dimana aktifitas kapitalis meluas menciptakan monopoli dan berjalan dengan prinsip mengekspolitasi atau membunuh, yang terakhir; dimana ada kapitalisme disitu ada perjuangan kelas buruh, tetapi saat ini perjuangan ini belum cukup berdampak. Di Indonesia, ini bukan hal baru sebenarnya, dimana ada sumber daya emas, batu bara dan minyak disitu penduduk desanya cuma jadi buruh dan alamnya dikeruk habis-habisan. Terakhir ya alam dan kehidupannya tenggelam dalam lumpur Lapindo tanpa ada yang mau bertanggung jawab (emosi jiwa sambil nyannyi lagu slank; balikin oh oh balikin, tanah guwe kayak dulu lagi, balikin oh oh balikin emas guwe kayak dulu lagi, elo harus tanggung jawab!!!!!!).

Modal sosial adalah aspek non ekonomi seperti jaringan yang dapat mendorong pembangunan yang menyangkut tempat dan identitas (Lee at all, 2005). Dalam hal menghadapi ketidakadilan pembangunan di desa, modal sosial ini dapat digunakan untuk membentuk gerakan bersama, memperluas jaringan menciptakan produksi khusus terkait identitas yang tidak bisa di produksi oleh daerah lain, misalnya; kwatek, jagung titi atau biji mete bahkan tuak juga bisa kita kaji kelayakan bisnisnya. Kalau di Itali contohnya ada Wisata Aggur-Tuscany Wine. Modal sosial ini hanya bisa dimanfaatkan jika ada jaringan untuk membangun gerakan bersama karena;
·         Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh (anonim).
·         Sebenarnya sama aja,,,cuman yang ini lebih canggih, Karl Marx soalnya, dia pernah bilang sesuatu yang besar dan merorong hanya dapat di lawan dengan gerakan yang sama besar, tak pelak lagi, David Harvey juga mengusulkan demikian, membangun sebuah rencana kerja terorganisir dengan kekuatan bersama dari desa. go go go desa!!! pertanyaannya kemudian, mulai dari mana??????? ya mulai dari berkumpul bersama untuk mengidentifikasi Adonara Idyl dan anti idyll ^___^'''. Tapi sepertinya untuk kasus Adonara, terlepas dari semua teori, beberapa orang seperti tampak pada postingan - postingan kak Kamilus Tupen Jumat, sudah memulai gerakan ini; berkumpul bersama untuk menyusun strategi Adonara Berdaulat.

Lebih jauh, Oostindie (2008) menjelaskan bagaimana membangun modal sosial ini; dengan menguatkan dan membangun jaringan. Artinya menguatkan jaringan dengan kelompok internal misalnya; keluarga, suku atau kampung tanpa melupakan pembangunan jaringan eksternal nya. Menurut Ooostindie, akan sangat berbahaya sekali kalau jaringan internal dan eksternal ini berjalan tidak seimbang karena akan menciptakan ketidak seimbangan pembangunan misalnya ya; korupsi , nepotisme dan penolakan terhadap kegiatan pembangunan.

Neo-endogenous, kata rumit ini di sebutkan tanpa lelah oleh Ray (2006) dan Oostindie (2008), artinya bagaimana penduduk lokal memanfaatkan kapasitas lokal dan mengembangkan jaringan national dan international mereka dalam prosesnya. Keterlibatan pihak luar ini bukan untuk mendikte tetapi untuk berbagi informasi dan membangun jaringan yang lebih luas saja. Menurut Ray, kegiatan ekonomi di desa dalam hal ini di maksudkan untuk pengembangan sosial ekonomi; bukan semata-mata mencari untung, tetapi juga dijalankan dengan prinsip solidaritas dan partisipasi untuk tujuan bersama dan koordinasi ekonomi (koordinasi kedalam-koordinasi politik dan administrasi-dan koordinasi keluar). Nah, bisa tidak ya, Adonara seperti ini?

Tengkulak bukan cuma soal tengkulak yang menggerogoti petani, tengkulak dalam kacamata James (2011) (tidak lewat kacamata saya, karena saya gak pake kacamata) adalah orang-orang yang memiliki kelebihan kemampuan; akses, informasi, kapasitas bergerak di level yang berbeda, pintar, karismatik dan jaringan yang bagus yang membuat masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melegitimasi keberadaan tengkulak ini (jadi bertanya-tanya, apakah saya juga tengkulak -_-'???). Sehubungan dengan ketidakadilan di desa, nah tengkulak ini memanfaatkan situasi bermain menjadi penghubung antara orang-orang di desa dengan orang luar dalam hal ekonomi maupun pemerintahan. Mereka menjadi perpanjangan lidah rakyat; petani, penenun, ibu-ibu atau anak-anak. Imbalan yang diharapkan oleh tengkulak adalah; keuntungan ekonomi, suara, kepercayaan dan nama besar. Kenapa kemudian tengkulak kesannya selalu negatif, karena menurut James, sebagian besar tengkulak, adalah; picik, manipulatif, tamak dan koruptor (James lho yang bilang, bukan saya) ^_^ *sambil mengingat-ngingat postingan di group tentang tengkulak, petani dan Adonara Kabupaten*.... Dan pembangunan bertujuan untuk meminimalisir jumlah tengkulak atau jumlah orang yang bercita-cita jadi tengkulak ^_^.

Anti-Politik adalah anti-demokratik, itu menurut Buscher (2010), jangan tanya ken-apa,,,go di koi hala :p . Tetapi setelah mengatakan demikian, Buscher kemudian menyebut anti politik sebagai strategi politik untuk menghadapai ketidakseimbangan pembangunan (pria yang tidak konsisten). Diantara contoh gerakan anti-politik ini adalah; strategi estetis yang menggantikan kata dengan gambar, drama dan kesenian lain, ada juga strategi populer yang membangun partisipasi komunitas lokal, strategi teknis yang menciptakan strategi super canggih dalam perencanaan pembangunan atau strategi pragmatis; dimana orang bekerja hanya selagi perkerjaan tersebut memberi untung. Kesemuanya ini dapat menjadi strategi untuk menentang ketidakadilan di desa tanpa harus masuk kedalam sistem perpolitikan. Padahal sebenarnya, ini juga namanya ra' plitika.

Nah, semua sudah di tuliskan tentang desa, apa itu desa, aktifitas yang ada di dalam dan luar yang mempengaruhi desa, ketidak adilan yang di alami desa dan juga tentang kekuatan utama di desa. Sekarang waktunya makan dan bersiap melancarkan strategi anti-politik menentang ujian hauahahhaah….


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA

"BEKU” SANG NAGA LAUT YANG PERKASA (Bagian 1)

AGAMA LOKAL, PENGINJILAN DAN BAYI YANG TERBUANG