CATATAN IBU SEORANG DEMONSTRAN
Angin dan waktu bersetubuh,
menerpa menuakan penjaga malam. Di batas kekelaman hari-hari berteriak mencari
pagi. Bendera-bendera setengah tiang perlawanan berkibar dari rumah-rumah
penduduk dan api amarah ketidakadilan membakar langit. Orang-orang telah
bangkit dari 32 tahun malam penindasan dengan 32 tahun energi amarah yang
terpendam mendentangkan lonceng kematian untuk penjaga malam.
Anak-anak muda bergelombang,
bergerak. Perlawanan dikibarkan di puncak-puncak harapan luhur dan tekad
menggumpal : "padamu negri jiwa raga kami". Di sini, revolusi
sementara menggeliat, di jalan-jalan ! Sebab rumah besar di Senayan itu sudah
lama jadi tempat pelacuran. Tetapi kepada mereka tentara-tentara disiagakan dan
bedil-bedil ditembakan. Lalu yang terjadi kemudian: tubuh-tubuh rubuh,
menggelepar, mati! Darah membasahi jalan sejarah, menggenangi ceruk-ceruk
kesadaran kita : betapa di sini manusia telah kehilangan harga dan kebiadaban
telah jadi peradaban orde-orde yang berkuasa. Sontoloyo!.
Anakku, di pagi itu ketika kau
pergi, kuingin menciummu sekali lagi, mendekapmu lama-lama dan berdoa ke langit
semoga Tuhan melindungimu. Jauh di lubuk hati kuingin kau di sini, tak terbang
membumbung menentang mara bahaya. Tapi kasih ibu mesti melepasmu pergi untuk
tumbuh menjadi laki-laki pemberani yang pergi menyongsong maut sekalipun, dengan
tersenyum.
Pagi itu pun kuingin katakan
padamu, jika kau percaya bahwa bedil-bedil itu tidak akan ditembakan, maka kau
keliru. Dimanapun di dunia ini, ketika kekuasaan menjadi sesuatu yg begitu
menguntungkan dan bila para pemegangnya adalah justru para penjahat, ia akan
selalu dipertahankan dengan cara apapun. Termasuk menembakan bedil-bedil itu
yang pelurunya dibeli dengan uang dari pajak ibu bapamu. Pagi itu Tiannanmen*
menari-nari di pelupuk mata. Tapi sekali lagi, ibu mesti memberikan dukungan,
meniupkan doa-doa disayapmu, menghembuskan semangat di nadimu dan dengan
tersenyum berucap tegar, " Pergilah anakku, pergilah ke medan juang".
Walau sesungguhnya ibu tidak setegar itu.
Suatu pagi yang bersejarah ! Kau
begitu bersemangat, berlari ke jalan dengan ceria. "Ah, anakku telah jadi
laki-laki dewasa yang paham akan tugas sejarahnya. Tidak lagi seperti anak
kecil dan tua-tua bangka di atas sana yang cuma mengingat dirinya". Aku
menatapmu dari beranda rumah dengan cemas yang coba aku sembunyikan. Sesaat
kemudian kau menghilang, berlari ke selatan kota kita.
Ibu tahu, kau berlari menyongsong
sebuah medan pertempuran yang begitu tidak adilnya. Ada seribu bedil telah
disiapkan untuk menyambutmu, memberikan "ciuaman judas" kepada
kamu-kamu yang cuma berikat kepala dan bertameng kebenaran. Nak, kamu sementara
memasuki medan pertempuran dimana seribu bedil telah disiagakan untuk
menembakmu. Karena itu ibu cemas.
Pagi itu seharusnya ibu menciummu sekali lagi.
Berkali-kali ! Mendekapmu lama-lama. Siapa tahu kau tidak kembali untuk
selamanya. Ternyata......., pagi itu menjadi pagi terakhir kita. Ciuman itu
menjadi ciuman penghabisan. Dan ibu kehilangan :
Telah gugur matahariku
Gugur kepagian di sebuah siang yang mendidih
Tergeletak sendirian di jalan
Sepih !
Muram !
Sementara gardu dan polisi
terasa jauh melambai
Tapi anakku....
Ibu bersamamu disetiap luka
dan nyerimu
Ibu bersamamu diisetiap sakit
dan mati kecilmu
Kau tidak sendirian anakku !
Di sini bendera-bendera telah
dikibarkan
Setengah tiang !
Dan tidakkah kau dengar lagu
itu yang dikumandangkan memenuhi langit ?
"Telah gugur
pahlawanku..."
Tersenyumlah anakku,
tersenyumlah...."
Seorang tentara lewat dan
menyepakmu ke pinggir. Ya Tuhan, sepatu lars itu. Kebiadaban itu. Kuingin
menggorok leher yang punya kaki itu, merampas senjatanya dan kutembakan merobek
dada penguasa-penguasa tolol itu, menumpahkan darah mereka. Dan pada setiap
erangan kesakitan mereka, kuingin tanyakan ini : "Bukankah kematian itu
menyakitkan tuan-tuan ?" Darah mereka akan kupakai untuk menulis di
jalan-jalan, di gedung-gedung, di buku-buku sejarah, di ingatan-ingatan setiap
kita : "Kita tidak butuh tentara-tentara yang membunuhi anak-anak kita
yang satu-satunya tindak kejahatan mereka adalah idealismenya.
Di jalan ini revolusi menggeliat.
Di jalan ini seribu bedil ditembakan dan seribu pahlawan lahir. Anakku, namamu
diabadikan di jalan ini. Pahlawan ! Tapi jika ibu dapat memilih, kutak ingin
kau jadi pahlawan dan mati. Mataharimu baru terbit dan belum separuh mengarungi
cakrawala menyaksikan keindahan-keindahan kehidupan. Belum saatnya kau pergi.
Kaulah yg mesti mengantarkan kami yang tua-tua ini ke pekuburan. Bukan
sebaliknya anakku ! Kepergianmu mengoyak rahimku dan hidup jadi beban. Nak,
setiap ibu telah menyabung nyawa untuk menghadirkan kehidupan. Dan yang
diinginkan setiap mereka adalah hidup : hidup yang tak pernah padam dengan
begitu cepat, apalagi direnggut paksa.
Ah, ternyata Batavia itu belum
berlalu. Ibu-ibu meratapi anak-anak mereka, anak-anak menangisi orang tuanya,
istri menangisi suami, suami menangisi istri, orang-orang menangisi sesama
mereka, yang mati , yang dibantai, yang raib, oleh kekuasaan, setiap saat, di
setiap tempat. Ratap tangis memenuhi ruang dan waktu, merasuk ke bilik-bilik
hati kita, meracun ! Di sini penindasan berkibar-kibar dan rakyat sampai lelah
menangis dan kehabisan air mata. Hari ini, tangis di kota tua itu ada di sini.
Yah ! Ada di sini, cukup dekat, terlampau dekat dengan semua kita.
Di sini, di kota ini, setiap ibu
yang merelakan anaknya turun ke jalan menentang tirani, harus menyiapkan diri
untuk hidup dengan separuh hati dan terluka. Sebab ketika bedug Magrib bertalu
dan lonceng gereja sore berdentang, saat dimana para demonstran lelah dan
pulang, setiap ibu bisa saja menjadi ibu-ibu yang berdiri di ujung jalan,
setelah seharian cemas dan lelah menanti, bertanya meratap, " Dimanakah
anakku ?" Tapi para demonstran cuma terdiam, berlalu merunduk, sepih !
Mata mereka berkaca-kaca, tangan mereka gemetar menunjuk langit".
Daniel Ama
Nuen
Mutiara Dari
Woka Belolon
Komentar