POLITIK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (Bagian 1)
Oleh
Daniel Ama Nuen
Penguasa
baik nasional maupun lokal selalu menjaga kekuasaannya agar bertahan lama
dengan cara membodohi seluruh warga masyarakat. Di saman Orde Baru, pusat-pusat
pendidikan seperti SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi tak luput dari
upaya-upaya pembodohan. Penjejalan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat
ideologis pada semua tingkat pendidikan itu adalah pertanda jelas dari
upaya-upaya seperti itu.
Anak-anak
didik dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi diupayakan menghafal semua
sila dari Pancasila, tetapi apa artinya semua sila itu dan bagaimana praksisnya
tidak menjadi perhatian untuk dikritisi. Mereka juga cuma disodorkan sejarah
resmi dari ordo yg sementara berkuasa, sementara versi lain dari sejarah
tentang suatu peristiwa di masa lampau semisal peristiwa pergantian kekuasaan
tak diberikan untuk dipelajari apa lagi untuk dikritisi. Jadinya, sejarah yang
selama ini dipelajari atau diketahui umum tidak lebih dari sebuah cerita yang
subjektif dan hanya digunakan untuk melegitimasi sebuah ordo yang memerintah.
Tafsir lain dan versi lain adalah bid'ah - subversib. Kebenaran hanya datang
dari satu sumber yaitu pemerintah.
Pembodohan
itu berlangsung secara sistematis dan berhasil membunuh akal budi setiap kita
sehingga 32 tahun Orde Baru dengan penyalagunaan kekuasaan yg begitu vulgarpun,
semisal pembunuhan politik di Aceh dan Timor Timur (sebelum merdeka), kita
tidak lagi punya kemampuan untuk membeda-bedakan : mana yang benar, mana yang
salah, mana yang kejahatan dan mana yang pembelaan terhadap (keselamatan)
negara. Apalagi mempertanyakan legitimasi penguasa yg telah menyalahgunakan
kekuasaan itu. Akhirnya, sama-sama kita tahu, Orde Baru - Soeharto berlangsung
dengan aman dan damai selama 32 tahun. 32 tahun Orde Baru adalah 32 tahun
penindasan akal budi. Dan ketika resim ini jatuh, adakah upaya-upaya pembodohan
itu telah berakhir?
Di
Jakarta atau pusat-pusat kota lain, tampak jelas ada upaya-upaya perlawanan. Di
kampus-kampus para mahasiswa dan orang-orang terdidik lainnya mulai mengkritisi
kenyataan-kenyataan dan menggalang aksi-aksi: apa itu demonstrasi ataupun
diskusi-diskusi ilmiah yang bersifat mencerahkan. Belum lagi artikel-artikel
dan buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekiawan yang belum berkhianat
(orang-orang yang menyadari fungsinya untuk menyuarakan suara-suara kenabian)
tersebar luas dan mudah memperolehnya. Dan juga tidak sedikit lembaga-lmbaga
swadaya, yang masih idealis, yang menyelenggarakan pendidikan politik bagi
rakyat banyak. Tapi bagaimana dengan di desa-desa kita?
Perbincangan
mengenai kekuasaan, hak-hak politik maupun kewajiban-kewajiban politik warga
desa sepertinya sepi-sepi saja. Apalagi praksisnya. Rapat-rapat di desa selalu
ditandai kebisuan warga desa dihadapan kecerewetan aparat yang terus-menerus
memanipulasi keadaan dengan cara mendefenisikan situasi selalu secara sepihak.
Pemerintah desa dan atau aparanyat selalu menjadi tukang omong dan tukang ambil
keputusan atas semua hal-hal publik.
Kehidupan
politik di desa hanya tampak ketika pemilihan umum dan pemilihan kepala desa.
Sementara praksis sehari-hari berupa kontrol terhadap pemerintah desa ataupun
ikut ambil bagian dalam memutuskan sesuatu yang menyangkut kepentingan umum
nyaris tidak ada. Maka yang terjadi adalah : kepala desa-kepala desa menjadi
tiran-tirani lokal yang tidak kalah kualitasnya dengan Soeharto. Dimana
keberkuasaan mereka didefenisikan sebagai prifilese untuk berbuat apa saja di
desa, termasuk "memakan" uang subsidi dan uang umum lainnya. Ini
menyebabkan KKN yang berada di depan mata yang dipraktekan oleh kepala desa
sendiri bukan suatu penyalahgunaan kekuasaan yang sangat perlu dipermasalahkan
warga desa.
Reformasi
itu secara gampangnya kita sebut sebagai penyetopan penyalagunaan kekuasaan.
Dan penyalagunaan kekuasaan yang bentuk riilnya adalah korupsi, kolusi dan
nepotisme, bisa berlangsung dimana saja. . Ia bisa dilakukan oleh Presiden di
Jakarta, ia bisa dilakukan oleh Gubernur di propinsi, ia bisa dilakukan oleh
Bupati di kabupaten, ia bisa dilakukan oleh Camat di kecamatan dan ia sangat
bisa dilakukan oleh Kepala Desa di desa. Dalam konteks lokal, bagaimana
menggerakan reformasi di desa?
Secara
nasional, yg menurunkan Soeharto di Jakarta adalah para mahasiswa, sekelompok
orang-orang terdidik dalam politik, dalam artian mereka-mereka adalah orang-orang
yang memahami apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang pejabat publik
(Presiden) dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Dan juga mereka tahu apa yang
harus dilakukan mereka jika pejabat publik yang bersangkutan menyelewengkan
kekuasaan. Singkatnya dapat dikatakan bahwa perubahan di Jakarta didorong oleh
orang-orang yang melek politik. Oleh karena itu, jika mau berhasil, perubahan
di desa mestilah juga digerakan oleh warga-warga desa yang melek politik.
Menggerakan
perubahan di desa ibarat menggerakan sebuah batu yang sebebarnya tidak terlalu
besar dan juga tidak terlalu berat tapi justru terganjal oleh batu-batu yang
maha besar dan berat yaitu ketidakmelekan politik dari hampir seluruh warga
desa. Mengharapkan warga desa sendiri secara serta merta dalam waktu yang
singkat dapat menggerakan perubahan akan hanya berhadapan dengan apatisme yang
mencengangkan.. Bukankah mereka adalah batu-batu pengganjal itu sendiri?
Orang-orang yang menurut Paulo Freire tidak memiliki persepsi yang cerdas
terhadap manusia dalam hubungannya dengan dunia dan kekuasaan. Mereka tidak
mempunyai pandangan terhadap kondidi sosial politik. Bagi mereka, kondisi itu
sudah ditakdirkan yakni kondisi sosial politik sebagai feta kompli, bukan suatu
proses yg masih dalam tahap pembuatan.
Ini
sebuah fatalisme yang membuat frustrasi bagi aktivis-aktivis perubahan sosial
politik di desa yg mau mengharapkan hasil dalam tempo yang
sesingkat-singkatnta. Dan untuk gampangnya massa dimobilisasi.
Memobilisasi
warga desa dengan hanya mengembar-gemborkan akan apa yg terjadi kelak (yang
tentunya indah-indah atau bagus-bagus), bukanlah pendekatan yg tepat untuk
memecahkan persoalan, karena dengan pendekatan ini, lagi-lagi warga desa
dijadikan objek (Bersambung)
Komentar