POLITIK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (Bagian 2)
Oleh Daniel Ama Nuen
Untuk sebuah perubahan sosial politik yang radikal di desa haruslah dirancang dengan sangat hati-hati, dan itu memakan waktu. Segelintir orang harus masuk ke tengah-tengah warga desa untuk bersama-sama dengan mereka mengkritisi kenyataan-kenyataan sosial politik (yang tidak manusiawi tentunya) yang dihadapi bersama dan bersama-sama mencari cara untuk mensiasatinya. Disana sudah tidak lagi ada yang berposisi guru saja, atau murid saja, tapi guru sekaligus juga murid dan murid yang sekaligus guru. Dan bahan yg dipelajari adalah realitas sosial politik.
Untuk sebuah perubahan sosial politik yang radikal di desa haruslah dirancang dengan sangat hati-hati, dan itu memakan waktu. Segelintir orang harus masuk ke tengah-tengah warga desa untuk bersama-sama dengan mereka mengkritisi kenyataan-kenyataan sosial politik (yang tidak manusiawi tentunya) yang dihadapi bersama dan bersama-sama mencari cara untuk mensiasatinya. Disana sudah tidak lagi ada yang berposisi guru saja, atau murid saja, tapi guru sekaligus juga murid dan murid yang sekaligus guru. Dan bahan yg dipelajari adalah realitas sosial politik.
Hanya dengan jalan ini kita akan
membuat perubahan yang berarti di desa. Kesadaran kritis warga desa yang selama
ini ditindas pelan-pelan ditumbuhkan. Dan suatu saat mata mereka akan terbuka
dengan sendirinya bahwa penyalagunaan kekuasaan adalah kejahatan dan itu harus
dicegah atau dilawan. Di sini apatisme secara perlahan dirubah menjadi
antusiasme. Dan warga desa yang antusias tentu mempunyai mobilitas yang tinggi
dan secara aktif terlibat dalam sistem politik untuk memperjuangkan hak-hak
politiknya.
Segelintir orang yg masuk ke
tengah-tengah warga desa, mereka adalah intelektuil-intelektuil yang menurut
Freire sudah tidak lagi memaksakan teori kepada warga desa. Mereka adalah teorisi
yang menyatu secara organik dengan kebudayaan dan aktivitas warga desa yang
tertindas. Mereka tidak menyebarluaskan pengetahuan secara formal kepada
masyarakat, tetapi bergabung dan hidup bersama untuk mengkondisikan masyarakat
secara terus-menerus dalam rangka proyek sosial yang radikal.
Menengok ke desa, mayoritas orang
sekolahan berlomba-lomba jadi pegawai negri. Dan dalam sebuah resim yang
kleptokrasis, mereka justru datang untuk membodohi warga desa. Dan cendekiawan
yang belum berkhianat? "Mencarinya dengan anjingpun" tidak kita temui
di desa. Mereka semua lebih suka berkumpul di pusat-pusat kota sambil memandang
desa dari jauh, sangat jauh, lewat buku-buku yang ditulis orang-orang
pemerintah yang menjadi wisatawan pembangunan ke desa-desa, dan ikut
berkesimpulan bahwa desa masilah sebuah tempat yang romantis : nyiur tetap
melambai, ayam tetap berkokok, padi tetap menguning, Kepala Desa tetap orang
terhormat dan uang sunsidi yang dikirimkan dari Jakarta tetap dibelanjakan untuk
kepentingan umum.
Padahal di sana warga desa tetap
merasakan penindasan - kekuasaan dirasakan sebagai sesuatu yang menyalibkan
hari demi hari - tapi lucunya , ini bukan persoalan bagi warga desa. Mereka
malah berdoa bagi Kepala Desa mereka agar berumur panjang, murah rejeki, dan
kalau Tuhan mengijinkan, boleh juga enteng jodoh kesekian kali. Sebuah
kebodohan yang hanya dapat dihilangkan dengan pendidikan (politik) yang bersifat
memerdekakan - sebuah aksi budaya dimana manusia-manusia ditumbuhkan kesadaran
kritisnya untuk kemudian bisa menyadari posisi dirinya sebagai subjek-subjek
yang merdeka di hadapan kekuasaan atau apapun juga, yang bisa, sangat bisa,
menulis sejarah hidupnya (selesai).
Komentar