JALAN BUNTU MENUJU KEMERDEKAAN PANGAN


Oleh Agel Pepakgeka

Akibat Krisis finansial (keuangan, Bank Dunia justru melakukan spekulasi uang dan saham. Rekomendasi Bank Dunia mendorong investasi besar-besaran di sektor pertanian, terutama di Afrika dan Asia. Sebagai akibat, terjadi perampasan tanah rakyat ketika krisis finansial justru memicu terjadinya lonjakan harga pangan dunia.

Salah satu penyebabnya adalah beralihnya spekulasi modal bank besar dan lembaga keuangan internasional ke komoditas pangan sejalan dengan agenda neoliberal yang masih menjadi program utama Bank Dunia. Bank Dunia kemudian berceloteh seperti ini : “Kami percaya pendekatan multi-pihak dan holistik adalah satu-satunya cara untuk mengatasi tantangan ketahanan pangan dan membantu untuk memberi makan kalangan miskin di dunia secara berkelanjutan.“ Namun, pada kenyataahnya kebijakan yang demikian justru menimbulkan konflik agraria dalam bentuk kekerasan terhadap petani. 

Hal lain, otonomi daerah jusru kemudian memicu ekspolitasi melalui regulasi bidang pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Pemerintah daerah kemudian melakukan pembukaan proyek dengan cara merampas dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Dampak lanjutan, sumber kehidupan masyarakat daerah yang bergantung pada hasil hutan dan pertanian terancam dengan adanya eksploitasi yang dilakukan secara terus menerus dan semakin meluas hingga lahan pertanian pun semakin sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi. Realitas ini sungguh sangat meresahkan ketika pada umumnya, petani di Indonesia rata-rata hanya memiliki tanah kurang dari 1/3 hektar. Jika dilihat dari sisi produksi tentu saja dengan luas tanah yang demikian tidak dapat digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari bagi petani.

Dari persoalan global dan nasional, kita tarik ke persoalan lokal yang terjadi saat ini dalam realita masyarakat kita. Mari kita ambil satu contoh tentang program ekonomi hijau (green economy) dan upaya lain yang dilakukan pemerintah dengan adanya pemberdayaan masyarakat melalui program pemberdayaan lahan kering serta program pelestarian lingkungan. Dengan bergulirnya program ini maka kaum tani justru dijadikan obyek tenaga kerja murah (tidak perlu di upah/gaji) di atas tanah maupun kebunnya sendiri.

Pertanyaan kemudian adalah, bagaimana mungkin kita mengatakan “tidak” sedangkan maindset kita sudah di pengaruhi marketing dan monopoli pasar? Secara tidak langsung ladang dan kebun kita dipaksa untuk menghasilkan komoditi yang menjadi tujuan bisnis yang berlindung di balik invenstasi Bank Dunia. Sementara disisi lain kita justru diiming melalui LKF (baca:Lembaga Kredit Finasial) dengan bunga sangat menggiurkan untuk memenuhi bahan pokok konsumtif kita.

Contoh rill yang terjadi di masyrakat kita adalah ketika kita menjual biji Mente untuk membeli beras dari Jawa. Persoalan yang kemudian muncul adalah kita menjadi kuli untuk memproduksi komoditi yang menjadi tujuan bisnis di ladang atau kebun yang seharusnya untuk menanam padi. Sementara keuntungan dari hasil penjualan komoditi tersebut diinvenstasikan ke LKF dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari bunga yang menggiurkan. Pada hakekatnya sama saja sebab bunga yang di dapat dari LKF tujuannya untuk mencukupi kebutuhan konsumtif(beli beras).

Di sisi lain kita merasa sangat sederhana dan mudah menjalani hidup dengan adanya program ini karna pemikiran kita yang masih sangat subtansif dikuasai polah marketing dan strategi bisnis kapital tanpa kita sadari. Apa pernah kita berpikir bahwa generasi kita yang akan datang akan mengalami nasib yang sama seperti kita alami saat ini ketika kebun kita menjadi ladang kolonial? Pernahkah kita membayangkan nasip seorang pemanjat kelapa yang telah memberikan makan (minyak goreng)kepada jutaan umat manusia sementara ia (pemanjat kelapa) tidak pernah mendapat ansurasi kecelakaan kerja padahal kebun kelapa setiap tahun untuk membayar pajak? Ataukah pernah terbayang suatu saat terjadi over produk komoditi non konsumtif dan merosotnya harga sedangkan bahan pangan terjadi peningkatan harga? Bukankah ini akan menjadi musibah besar di kemudian hari?

Alternatif apa yang menjadi tawaran untuk keluar dari persoalan ini ketika pendapatan merosot, LKF menutup gerbang karena mengalami kerugian akibat dari berkurangnya nasabah, beras impor melambung tinggi,kebun dipenuhi dengan tanaman seperti mente,kako dan fanili yg nota benenya tidak bisa di makan. Mungkin sudah saat nya kita berpikir bagaimana kita menuju “kemandirian pangan” sebagai satu alternatif untuk menepis tekanan ekonomi dan kemerdekaan kaum Tani dari penindasan menjadi kuli di ladang/kebun sendiri menuju generasi yang lebih bermartabat dan berkualitas. Sebab, di tangan petanilah harapan hidup seluruh umat di dunia dari musibah kelaparan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA

"BEKU” SANG NAGA LAUT YANG PERKASA (Bagian 1)

AGAMA LOKAL, PENGINJILAN DAN BAYI YANG TERBUANG