MERAYAKAN MASA SILAM

Oleh Christo Kabelen
Minggu-minggu ini kendaraan akan sesak oleh penumpang. Jalan-jalan, juga terminal, stasiun, dan bandara penuh. Orang-orang sedang mudik. Pulang ke masa lalu, pada kenangan. Tempat mereka lahir dan dibesarkan, atau pulang kepada hubungan-hubungan yang (telah) mereka bangun. Jika ada yang retak dalam hubungan itu, tentulah ini waktu yang tepat untuk menambalnya. 

Masa lalu memang tak gampang dilepaskan. Bagi sebagian orang, barangkali, mudik adalah kembalinya mereka ke tradisi. Ada semacam semangat beromantisme dengan masa lalu. Ya, setidaknya melepaskan kerinduan mereka akan apa yang mereka rasakan dulu. Masyarakat tradisional, dengan ikatan sosial yang lebih kuat dan bukan hanya didasarkan atas rasionalitas tujuan-tujuan tertentu. Mereka ingin merasakan hubungan antar mereka dan tetangga, misalnya, dalam hubungan yang dominan dengan rasa daripada akal. Kehangatan suasana kampung. Di mana masyarakat tidak terkungkung oleh sekat-sekat yang memisahkan mereka dengan individu yang lain.  

Mereka merasakan kembali yang tradisional sebab yang modern tak cukup memberikan segalanya. Ada yang justru hilang tergerus arus modernitas, Hubungan sosial yang lebih didasarkan pada rasional instrumental. Akal yang hanya menurutkan kehendak.
Seorang sosiolog Perancis, Emile Durkheim, mencirikan pembagian masyarakat ke dalam dua kelompok. Pembagian masyarakat ini ia dasarkan pada The Division of Labor in Society, salah satu bukunya yang berbicara tentang tipe solidaritas dan sumber struktur sosial dalam masyarakat. The Division of Labor in Society ini sekaligus sebagai dasar pembagian masyarakat modern dan masyarakat tradisional (Johnson, 1986: 181).  

Masyarakat tradisional, dalam pandangan Durkheim mendasarkan hubungan sosial dan solidaritasnya pada, di antaranya; kesamaan kepercayaan, mata pencaharian, dan kuatnya kesadaran kolektif. Agama, adat-istiadat, mitos, dan kepercayaan-kepercayaan tertentu masih memegang peranan penting dan menentukan. Masyarakat dengan ciri ini tersebar di berbagai desa/kampung. Pada masyarakat ini terdapat yang oleh Durkheim kemudian disebut sebagai, solidaritas mekanis. Kesadaran di dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis bersifat kolektif, sehingga individualitas anggota masyarakat cenderung kecil. Kesadaran kolektif itu menekan individu di dalamnya, untuk sedapat mungkin menghindari konflik dan ketegangan antar individu dengan yang lain. Karenanya mereka hidup dengan guyup dan rukun. 

Sedangkan masyarakat modern kedua dicirikan melalui pembagian atau spesialisasi kerja anggota masyarakat ke dalam berbagai profesi yang digeluti. Sifat ketergantungan kerja antar individu menyatukan mereka dalam menciptakan solidaritas. Solidaritas mereka hanya sebatas “kepentingan kerja” dan pencapaian tujuan-tujuan kerja. Kesadaran kolektif, pada tingkat pembagian kerja yang semakin tinggi tentu akan semakin berkurang. Masyarakat urban/perkotaan lebih kental dengan logika-logika modern ini. 

Masyarakat modern tidak lagi mendasarkan hubungan mereka berdasarkan kesamaan perasaan, pandangan hidup, bahkan institusi agama dan adat istiadat. Masyarakat modern lebih condong pada hubungan kerja yang rasional purposif. Gotong-royong yang menjadi cirri khas masyarakat tradisional, tentu saja tak kita temukan di sini. Sebab sudah terganti dengan upah. Hal ini menjadikan hubungan sosial di antara anggota masyarakat menjadi renggang. Ini menjadikan individulitas berkembang sedemikian rupa yang pada saat-saat tertentu berimbas pada berkembangnya individualisme. 

Tentu saja, apa yang dikatatakan oleh Durkheim tentang perlunya pembagian kerja di masyarakat dalam The Division of Labor in Society mewakili semangat zamannya. Zaman industrialisasi awal, ketika banyak orang optimis dengan berkah yang dibawa zaman modern. Menurut Durkheim, pembagian kerja membawa perubahan dari masyarakat dengan solidaritas mekanis ke masyarakat bersolidaritas organis. Dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.  

Modernitas berkembang sejak beberapa abad lalu dari daratan Eropa dengan semangat modernisme. Diawali dengan Pencerahan (renaisans), revolusi industri, dan perkembangan ilmu pengetahuan terutama bidang imu-ilmu alam. Modernitas ini sekaligus menandai peralihan dari Abad Pertengahan ke zaman modern. Sekularisasi, perkembangan ilmu pegetahuan, berbagai penemuan dalam bidang teknologi, dan kritik atas otoritas gereja tersebut kemudian disambut gegap gempita masyarakat, yang juga dilegitimasi lewat para ilmuan. Mereka, saat itu, sangat optimis bahwa zaman modern akan membawa perbaikan bagi kehidupan manusia. 

Memang semangat zaman modern itu telah banyak membuat perubahan. Penemuan dalam bidang teknologi tentu saja memudahkan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi, selain berkah yang di bawa, kutuk zaman modern juga tak kalah hebat. Sebab, ternyata optimisme zaman pencerahan itu tidak (lagi) menemukan muaranya. Modernitas berlari jauh dari yang dibayangkan sebelumnya. Modernisme telah memperkokoh kapitalisme. Dan kapitalisme, hingga kini, tak bergeser dari sifatnya yang rakus dan menindas. Rasional manusia berkembang dalam (ke)rangka maksud-maksud keuntungan material.

Manusia menundukkan alam, tapi juga kemudian tunduk di bawah teknologi yang mereka temu dan ciptakan. Seiring perkembangan industri relasi sosial dan ikatan individu yang dulu kental, kini mencair karena hubungan antar-individu pun menganut mekanisme-mekanisme layaknya mesin birokasi. Apa yang dikatakan oleh Durkheim terkait solidaritas yang muncul dari pembagian kerja, akhirnya mesti kalah oleh individulitas dan heterogenitas anggota masyarakat itu sendiri. Apalagi dampak kapitalisme meniscayakan persaingan ketat antar individu. Ketegangan-ketegangan itulah yang terjadi saat ini. Pada masyarakat modern.

Tapi, toh, masa kini bukan sekadar untuk dirutuki. Sebab zaman, perubahan, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya tak pernah bergeser ke belakang. Dan kini orang-orang ingin sejenak keluar dari mesin modernitas itu, sejenak jeda dari persoalan yang timbul dengan mudik. Kembali ke masyarakat tradisional. Sambil berandai-andai bahwa Adonara bisa (kembali) diperbaiki.*

Tulisan ini perna dimuat di e-magazine Pemuda Adonara Bangkit 

Edisi I/Juli 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA

"BEKU” SANG NAGA LAUT YANG PERKASA (Bagian 1)

AGAMA LOKAL, PENGINJILAN DAN BAYI YANG TERBUANG